Orang- orang Kiri di Persimpangan Lapangan Sepakbola
Di Indonesia, kata “komunis” sama tabunya dengan kata “seks” bagi golongan yang tak mampu mengusir jauh paparan Orde Baru. Komunis lebih sering dikaitkan dengan “ateis” yang “benci” tuhan, dan berperan serta dalam pembunuhan tujuh pahlawan revolusi yang dibuang di Lubang Buaya.
“Komunis” adalah satu bentuk ketakutan yang kerap terlontar dari penguasa. Label seperti apa yang diberi pemerintah Orde Baru untuk melawan pemberontak? Jawabannya “melawan pancasila” dan “komunis”. Setiap ada perlawanan dari partai oposisi, pembelaan yang terlontar pastilah tak jauh dari kata-kata ini: komunis bangkit kembali!
Di tengah kepungan modal yang kian tak tertahankan dalam jagat sepakbola mutakhir, orang seperti dipaksa untuk mengamini begitu saja betapa kapitalisme telah memenangkan pertaruangan ideologi. Dan dalam kemenangan itulah, sebagaimana yang dinubuatkan Francis Fukuyama, kapitalisme diandaikan sebagai akhir sejarah, karena setelah itu tak akan ada lagi kebaruan.
Kritik, rongrongan, dan bolong-bolong yang terdapat dalam ideologi kapitalisme, bagi orang seperti Fukuyama, tak akan pernah menumbangkan kapitalisme, karena kapitalisme selalu dengan cerdik memperbaiki dirinya, terus mengecoh dan menyaru, dan dengan itu selalu siap hadir kembali sebagai juggernaut, truk besar dalam kosa kata Anthony Giddens, yang mustahil dihentikan.
Sulit menduga jika ada pesepakbola yang berideologi komunis. Pertama, seberapa dalam pesepakbola mampu mencerna kerangka berpikir rumit Das Kapital yang ditulis Karl Marx. Kedua, bagi masyarakat yang hidup di era modern sekarang akan selalu ada pemikiran bahwa setan macam apa yang merasuki dirinya sehingga mau mengaku sebagai seorang komunis?
Tapi dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada para pembangkang yang melampaui konformitas. Mereka mempraktikkan gagasan dari suatu ideologi politik yang diyakininya ke dalam berbagai matra kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam sepakbola.
Tulisan yang bersumber dari panditfootball.com , saya mengambil satu pemain yang juga eks Fiorentina , dari beberapa pemain yang menjadi tokoh dalam tulisan tersebut
Socrates
Menjadi wajar dengan kondisi kehidupan di Brasil, ada pesepakbola yang mau berpikir dan belajar. Ia adalah Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Olivier atau yang lebih dikenal dengan Socrates.
Dengan statusnya sebagai pemain yang disegani pada masanya, ia memanfaatkannya dengan bersuara. Ia yang mengajarkan bagaimana pentingnya diskusi dan nilai-nilai demokrasi kala ia bermain di Corinthians pada musim 1978 hingga 1984. Kita lebih mengenalnya sebagai “Corinthians Movement” atau masa di mana pengelolaan klub dijalankan begitu demokratis.
Salah satu dampaknya adalah kepedulian para pemain terhadap isu-isu di luar sepakbola. Misalnya, kala mereka menolak pemimpin diktator militer Brasil pada saat itu.
Sama halnya dengan Socrates yang hidup dua ribuan tahun sebelum dirinya di Yunani, ia pun senang berjalan di kota, berdialog, dan berdiskusi. Lewat hal itulah, ia terus belajar. Utamanya belajar berpikir kritis.
Jika ketiga pemain di atas lebih senang membaca karya Karl Max, lain dengan Socrates. Saat hijrah ke Fiorentina pada 1984, ia malah asyik membaca karya-karya Antonio Gramsci. “Saya di sini untuk membaca dan mempelajari Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh,” ucapnya.
Lewat teori Hegemoni yang ia tulis di balik tirai penjara, Gramsci menginspirasi sekaligus menyadarkan khalayak bahwa ada kepentingan yang luar biasa hebat dari apa yang kita terima pada masa kini. Hal tersebut tak lekang dari sepakbola. Pemerintahan yang bobrok dapat menggunakan sepakbola sebagai pengalihan isu. Nilai-nilai buruk yang mereka layangkan, diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa perlawanan.
Socrates wafat pada 2011 dengan segala kritiknya terhadap Brasil dan FIFA. Meski telah tiada, wajahnya akan selalu tertempel di kaus-kaus, spanduk, dan selebaran kaum pergerakan.
Menjadi seorang komunis atau sosialis atau yang berDi Indonesia, kata “komunis” sama tabunya dengan kata “seks” bagi golongan yang tak mampu mengusir jauh paparan Orde Baru. Komunis lebih sering dikaitkan dengan “ateis” yang “benci” tuhan, dan berperan serta dalam pembunuhan tujuh pahlawan revolusi yang dibuang di Lubang Buaya.
“Komunis” adalah satu bentuk ketakutan yang kerap terlontar dari penguasa. Label seperti apa yang diberi pemerintah Orde Baru untuk melawan pemberontak? Jawabannya “melawan pancasila” dan “komunis”. Setiap ada perlawanan dari partai oposisi, pembelaan yang terlontar pastilah tak jauh dari kata-kata ini: komunis bangkit kembali!
Di tengah kepungan modal yang kian tak tertahankan dalam jagat sepakbola mutakhir, orang seperti dipaksa untuk mengamini begitu saja betapa kapitalisme telah memenangkan pertaruangan ideologi. Dan dalam kemenangan itulah, sebagaimana yang dinubuatkan Francis Fukuyama, kapitalisme diandaikan sebagai akhir sejarah, karena setelah itu tak akan ada lagi kebaruan.
Kritik, rongrongan, dan bolong-bolong yang terdapat dalam ideologi kapitalisme, bagi orang seperti Fukuyama, tak akan pernah menumbangkan kapitalisme, karena kapitalisme selalu dengan cerdik memperbaiki dirinya, terus mengecoh dan menyaru, dan dengan itu selalu siap hadir kembali sebagai juggernaut, truk besar dalam kosa kata Anthony Giddens, yang mustahil dihentikan.
Sulit menduga jika ada pesepakbola yang berideologi komunis. Pertama, seberapa dalam pesepakbola mampu mencerna kerangka berpikir rumit Das Kapital yang ditulis Karl Marx. Kedua, bagi masyarakat yang hidup di era modern sekarang akan selalu ada pemikiran bahwa setan macam apa yang merasuki dirinya sehingga mau mengaku sebagai seorang komunis?
Tapi dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada para pembangkang yang melampaui konformitas. Mereka mempraktikkan gagasan dari suatu ideologi politik yang diyakininya ke dalam berbagai matra kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam sepakbola.
Tulisan yang bersumber dari panditfootball.com , saya mengambil satu pemain yang juga eks Fiorentina , dari beberapa pemain yang menjadi tokoh dalam tulisan tersebut
Socrates
Menjadi wajar dengan kondisi kehidupan di Brasil, ada pesepakbola yang mau berpikir dan belajar. Ia adalah Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Olivier atau yang lebih dikenal dengan Socrates.
Dengan statusnya sebagai pemain yang disegani pada masanya, ia memanfaatkannya dengan bersuara. Ia yang mengajarkan bagaimana pentingnya diskusi dan nilai-nilai demokrasi kala ia bermain di Corinthians pada musim 1978 hingga 1984. Kita lebih mengenalnya sebagai “Corinthians Movement” atau masa di mana pengelolaan klub dijalankan begitu demokratis.
Salah satu dampaknya adalah kepedulian para pemain terhadap isu-isu di luar sepakbola. Misalnya, kala mereka menolak pemimpin diktator militer Brasil pada saat itu.
Sama halnya dengan Socrates yang hidup dua ribuan tahun sebelum dirinya di Yunani, ia pun senang berjalan di kota, berdialog, dan berdiskusi. Lewat hal itulah, ia terus belajar. Utamanya belajar berpikir kritis.
Jika ketiga pemain di atas lebih senang membaca karya Karl Max, lain dengan Socrates. Saat hijrah ke Fiorentina pada 1984, ia malah asyik membaca karya-karya Antonio Gramsci. “Saya di sini untuk membaca dan mempelajari Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh,” ucapnya.
Lewat teori Hegemoni yang ia tulis di balik tirai penjara, Gramsci menginspirasi sekaligus menyadarkan khalayak bahwa ada kepentingan yang luar biasa hebat dari apa yang kita terima pada masa kini. Hal tersebut tak lekang dari sepakbola. Pemerintahan yang bobrok dapat menggunakan sepakbola sebagai pengalihan isu. Nilai-nilai buruk yang mereka layangkan, diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa perlawanan.
Socrates wafat pada 2011 dengan segala kritiknya terhadap Brasil dan FIFA. Meski telah tiada, wajahnya akan selalu tertempel di kaus-kaus, spanduk, dan selebaran kaum pergerakan.
Menjadi seorang komunis atau sosialis atau yang Di Indonesia, kata “komunis” sama tabunya dengan kata “seks” bagi golongan yang tak mampu mengusir jauh paparan Orde Baru. Komunis lebih sering dikaitkan dengan “ateis” yang “benci” tuhan, dan berperan serta dalam pembunuhan tujuh pahlawan revolusi yang dibuang di Lubang Buaya.
“Komunis” adalah satu bentuk ketakutan yang kerap terlontar dari penguasa. Label seperti apa yang diberi pemerintah Orde Baru untuk melawan pemberontak? Jawabannya “melawan pancasila” dan “komunis”. Setiap ada perlawanan dari partai oposisi, pembelaan yang terlontar pastilah tak jauh dari kata-kata ini: komunis bangkit kembali!
Di tengah kepungan modal yang kian tak tertahankan dalam jagat sepakbola mutakhir, orang seperti dipaksa untuk mengamini begitu saja betapa kapitalisme telah memenangkan pertaruangan ideologi. Dan dalam kemenangan itulah, sebagaimana yang dinubuatkan Francis Fukuyama, kapitalisme diandaikan sebagai akhir sejarah, karena setelah itu tak akan ada lagi kebaruan.
Kritik, rongrongan, dan bolong-bolong yang terdapat dalam ideologi kapitalisme, bagi orang seperti Fukuyama, tak akan pernah menumbangkan kapitalisme, karena kapitalisme selalu dengan cerdik memperbaiki dirinya, terus mengecoh dan menyaru, dan dengan itu selalu siap hadir kembali sebagai juggernaut, truk besar dalam kosa kata Anthony Giddens, yang mustahil dihentikan.
Sulit menduga jika ada pesepakbola yang berideologi komunis. Pertama, seberapa dalam pesepakbola mampu mencerna kerangka berpikir rumit Das Kapital yang ditulis Karl Marx. Kedua, bagi masyarakat yang hidup di era modern sekarang akan selalu ada pemikiran bahwa setan macam apa yang merasuki dirinya sehingga mau mengaku sebagai seorang komunis?
Tapi dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada para pembangkang yang melampaui konformitas. Mereka mempraktikkan gagasan dari suatu ideologi politik yang diyakininya ke dalam berbagai matra kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam sepakbola.
Tulisan yang bersumber dari panditfootball.com , saya mengambil satu pemain yang juga eks Fiorentina , dari beberapa pemain yang menjadi tokoh dalam tulisan tersebut
Socrates
Menjadi wajar dengan kondisi kehidupan di Brasil, ada pesepakbola yang mau berpikir dan belajar. Ia adalah Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Olivier atau yang lebih dikenal dengan Socrates.
Dengan statusnya sebagai pemain yang disegani pada masanya, ia memanfaatkannya dengan bersuara. Ia yang mengajarkan bagaimana pentingnya diskusi dan nilai-nilai demokrasi kala ia bermain di Corinthians pada musim 1978 hingga 1984. Kita lebih mengenalnya sebagai “Corinthians Movement” atau masa di mana pengelolaan klub dijalankan begitu demokratis.
Salah satu dampaknya adalah kepedulian para pemain terhadap isu-isu di luar sepakbola. Misalnya, kala mereka menolak pemimpin diktator militer Brasil pada saat itu.
Sama halnya dengan Socrates yang hidup dua ribuan tahun sebelum dirinya di Yunani, ia pun senang berjalan di kota, berdialog, dan berdiskusi. Lewat hal itulah, ia terus belajar. Utamanya belajar berpikir kritis.
Jika ketiga pemain di atas lebih senang membaca karya Karl Max, lain dengan Socrates. Saat hijrah ke Fiorentina pada 1984, ia malah asyik membaca karya-karya Antonio Gramsci. “Saya di sini untuk membaca dan mempelajari Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh,” ucapnya.
Lewat teori Hegemoni yang ia tulis di balik tirai penjara, Gramsci menginspirasi sekaligus menyadarkan khalayak bahwa ada kepentingan yang luar biasa hebat dari apa yang kita terima pada masa kini. Hal tersebut tak lekang dari sepakbola. Pemerintahan yang bobrok dapat menggunakan sepakbola sebagai pengalihan isu. Nilai-nilai buruk yang mereka layangkan, diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa perlawanan.
Socrates wafat pada 2011 dengan segala kritiknya terhadap Brasil dan FIFA. Meski telah tiada, wajahnya akan selalu tertempel di kaus-kaus, spanduk, dan selebaran kaum pergerakan.
Menjadi seorang komunis atau sosialis atau yang berhaluan bukanlah perkara mudah. mereka mesti siap drngan label-ing negatif dari masyarakat. Padahal, berada di kiri hanyalah sebuah pilihan, karena hidup adalah sebuah persimpangan jalan.
Komentar
Posting Komentar