Kisah Klasik Harga BBM

Tepat Pukul 00.00 waktu indonesia dimanapun anda berada, 18 November 2014, harga BBM dinaikan sekitar 30 % dari Rp. 6.500 menjadi Rp. 8.500.

Sebelum pengumuman kenaikan harga tersebut tentunya diikuti dengan demonstrasi di berbagai daerah dengan tuntutan yang sama yaitu Tolak Kenaikan Harga BBM, dan pastinya setelah pengumuman siklus yang berulang akan berlanjut menjadi mogoknya para sopir angkot dan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Itulah hal yang selalu berulang setiap kali kenaikan harga BBM dan setiap zaman pemerintahan presiden dari pak harto sampai hari ini zamannya jokowi, kenaikan BBM selalu ada.

Dan anehnya, kenaikan tersebut juga berulang dengan alasan yang klasik yaitu pemanfaatan subsidi yang tidak tepat sasaran. Seperti tak ada yang bisa menyembuhkan penyakit ini, semua harus dengan satu cara, yaitu menaikkan harga.

Saya tentunya bukan orang yang paham bagaimana sistem pengelolaan migas di negeri ini, namun mengambil contoh terhadap apa yang terjadi dalam tambang mineral baru baru ini dengan aturan mengenai bahan tambang yang harus diolah terlebih dahulu di dalam negeri sebelum di ekspor, jadi bukan dalam bentuk bahan baku yang mentah, inilah yang jadi pertanyaan, apakah BBM ini diekspor dalam bentuk mentah dan kembali ke dalam negeri dengan nilai lebih ?

Sempat membaca beberapa pernyataan dari Prof. Juajir Sumardi (Guru Besar Hukum Unhas) mengenai pengelolaan migas di negeri ini yang dapat saya kutip di dalam tulisan ini.

Dalam sejarah perkembngan pengelolaan migas di dunia, terdapat 2 bentuk kerjasama yaitu:
1.Consession system (sistem konsesi);
2. Contractual System (sistem kontrak).

Sistem konsesi sudah ditinggalkan dan menuju ke Sistem kontraktual, yang saat ini terdapat 3 jenis kontraktual yaitu: Production Sharing Contrak (Kontrak Bagi Hasil), Joint Venture Contract, dan Service Contract.

Dalam sejarah pengelolaan migas di dunia, Indonesia dikenal sebagai negara yg pertama kali memperkenalkan Sistem Kontrak Bagi Hasil yang hingga saat sekarang diikuti oleh berbagai negara termasuk Malaysia. Tetapi sangat disayangkan hakikat kontrak bagi hasil yang telah digunakan oleh berbagai negara kini setelah keberlakuan UU Migas Indonesia No. 22 tahun 2001 mengalami pergeseran juridis yang tidak lagi memberikan kontrol kepada Negara melalui BUMN Pertamina, akan tetapi melepaskan sepenuhnya pengelolaan kepada Kontraktor Kerjasama Migas yang secara aktual 85% dikuasai oleh Internatioal Oil Company (perusahaan asing).

Pertamina tidak lagi mendapatkn tempat sebagai representasi negarau untuk menjadi pihak dalam kerjasama dengan pihak asing. Ini semuanya terjadi karena adanya pengaruh mafia migas internasional.

Kita masih ingat bagaimana kisah Indonesia membantu Malaysia dalam bidang pendidikan dengan mengekspor guru kesana dan hasilnya cukup baik. Begitu pula dalam bidang migas Malaysia dengan PETRONAS nya kini maju pesat meninggalkan jauh PERTAMINA, padahal secara historis Petronas Berguru pada Pertamina kita.

Kenapa bisa demikian? Karena Petronas oleh UU MIGAS Malaysia diberikan peran sama dengan Pertamina saat sebelum keberlakuan UU Migas kita yakni UU No. 22 tahun 2001. Ternyata UU Migas Malaysia yg dibuat pada 1974 substansinya mencontoh dan menjiplak UU migas kita yg lama. Petronas diposisikan sebagai BUMN yang diberikan peran penuh untuk mengelola Migas dan bekerjasama dgn pihak asing dengan sistem Kontrak Bagi Hasil, hal ini menjadikan Petronas sebagai tuan di negeri sendiri, dan berhak penuh untuk menentukan siapa-siapa yg akan menjadi mitra kerjasamanya. Bagaimana dgn Pertamina saat ini??? Dengan keberlakuan UU Migas No.22 tahun 2001 yang pembentukannya dalam kerangka peran IMF di Indonesia saat itu, telah menjadikan Pertamina bukan lagi tuan di negeri sendiri.
Dengan liberalisasi pengelolaan migas pada tingkat upstream (hulu) maupun Downstream (hilir) membuat pertamina di pecah dan di kerdilkan sehingga tidak memiliki daya saing yang tangguh untuk menghadapi kompetisi global sektor Migas.

Pernyataan Pak Presiden terhadap hasil kenaikan harga ini akan dipergunakan ke hal-hal yang produktif adalah hal yang mutlak dan harus dilakukan, sebab jika hasil yang diperoleh dari kenaikan harga BBM tidak digunakan untuk hal hal tersebut seperti membangun infrastruktur pengilangan minyak dalam negri, maka kebijakan kenaikan harga BBM hanya akan menghasil harga BBM yg mahal dan bangsa ini tidak akan pernah lepas dari belenggu problematika BBM. Kenapa demikian? sebab kita membeli minyak dari total kebutuhan nasional dari hasil proses pengilangan di luar negeri, dan itulah yg membuat APBN kita jeblok, lalu yang disuruh menalangi adalah rakyat Indonesia dengan cara harus membeli BBM lebih mahal.

Komentar

Postingan Populer