Eksekusi Putusan Pemidanaan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada, minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan Hakim bahwa tindak pidana benar benar terjadi serta terdakwalah pelakunya.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan berkekuatan hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Putusan pidana ada 3 jenis yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur hal-hal yg wajib ada dalam putusan pemidanaan. Salah satu hal yang wajib ada dalam putusan pemidanaan adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan Putusan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) (kecuali huruf g & i) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Surat keputusan ditandatangani Hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.

Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik. Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya atas permintaan dari terdakwa/penasihat hukumnya.

Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan jaksa, untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa. Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan bahwa begitu jaksa terima salinan putusan hakim/ekstrak vonis, maka jaksa akan eksekusi sesuai bunyi putusan hakim.

Yang sering menjadi masalah adalah terpidana menolak eksekusi putusan pengadilan karena unsur-unsur yang seharusnya ada pada putusan dianggap tidak terpenuhi. Hal ini misalnya terjadi pada perkara Bupati Aru, Maluku, Theddy Tengko terkait putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA). Pengacara Theddy, Yusril Ihza Mahendra tolak eksekusi putusan MA karena majelis kasasi tidak mencantumkan perintah penahanan terdakwa.

Ketentuan tentang pencantuman perintah penahanan kepada terdakwa diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Yusril mengatakan putusan kasasi Theddy batal demi hukum sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena tidak adanya perintah penahanan. Theddy mengajukan permohonan penetapan ke PN Ambon atas tidak dicantumkannya perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Pengadilan Negeri Ambon mengabulkan permohonan Theddy.

Putusan kasasi Theddy non executable. Penetapan PN Ambon kemudian dibatalkan MA dgn penetapan No.01/WK.MA.Y/PEN/X/2012 pd 25 Okt. 2012. MA memutuskan dalam tingkat kasasi adalah pengadilan terakhir & tertinggi, sehingga setelah amarnya diberitahukan, jaksa dapat melaksanakan putusan tersebut. Yang berhak menyatakan putusan kasasi batal adalah pengadilan yang lebih tinggi. Secara hierarki, MA adalah peradilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim di tingkat I dianggap tidak punya kewenangan membatalkan/menyatakan batal putusan MA.

Pada 3 Juli 2012, Yusril menguji Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP terhadap UUD 1945 diajukan Yusril sebagai kuasa hukum Parlin Riduansyah. Parlin Riduansyah adalah terpidana kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan yang sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada 22 November 2012, MK dalam putusan No.69/PUU-X/2012 memutus pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP. MK putusan yang tidak cantumkan perintah penahanan tetap sah dan tidak batal demi hukum. benar bahwa suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa ditahan, dst. Tapi ada/tidaknya pernyataan itu tidak dapat jadi alasan mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan hakim dalam amar putusannya. putusan pengadilan harus dianggap benar/sah & mengikat sebelum ada putusan pengadilan lain yang membatalkan.

Sumber : @klinikhukum hukumonline.com
Dikirim melalui SmartPhoneSoska®

Komentar

Postingan Populer