ANGIE BISA DITUNTUT LAGI DENGAN UU PENCUCIAN UANG
ANGIE BISA DITUNTUT LAGI DENGAN UU PENCUCIAN UANG
Oleh : Adami Chazawi
Pertanyaan: Bisakah Angie
dituntut lagi dengan UU Pencucian Uang?
Angie dipidana oleh Pengadilan
Tipikor karena terbukti secara sah dan meyakinan melanggar Pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UUTPK). Pasal 11
merumuskan: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00 pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.
Perbuatan yang dipersalahkan oleh
Pengadilan pada Angie adalah perbuatan “menerima hadiah” yang in casu sejumlah
uang. Pasal 76 KUHP, melarang orang dituntut untuk kedua kali karena perbuatan
yang telah diadili dengan putusan yang tetap (asas ne bis in idem). Jadi yang
dilarang untuk dituntut kedua kalinya, ialah terhadap “perbuatan sama.
Pengertian perbuatan di Pasal 76 KUHP yang banyak dianut ialah sebagai
perbuatan materiil. Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, pada Pasal
3 merumuskan: “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan
lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menmyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena
tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”. Perbuatan materiil dalam Pasal 3
adalah: menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga.
Dalam putusannya, majelis hakim
menyatakan Angie terbukti melakukan korupsi dengan menerima pemberian atau
janji berupa uang Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar AS dari Grup Permai. Uang
itu merupakan realisasi dari komitmen fee karena Angie menyanggupi untuk
menggiring anggaran proyek di Kemdiknas agar dapat disesuaikan dengan
permintaan Grup Permai. (KOMPAS.com 10-1-2013).
Jelasnya putusan Hakim Pengadilan
Tipikor telah menyatakan Angie terbukti menerima hadiah (uang) sebesar Rp 2,5
miliar dan 1.200.000 dollar AS dari Grup Permai, perbuatan menerima hadiah
(uang) mana sama/memenuhi unsur perbuatan dalam Pasal 11 UUTPK. Kiranya Angie
pada hari ketujuh setelah vonis (10-1-2013) Dia tidak akan banding.
Pertimbangannya adalah putusan itu sudah sangat ringan dan menguntungkan
dirinya. Terutama harta hasil menerima suap sebanyak itu tidak diutak-atik oleh
hakim Tipikor. Seolah-olah uang haram - hasil menerima suap itu merupakan uang
yang halal. Kalau Jaksa KPK juga tidak mengajukan banding, maka putusan itu
segera berkekuatan hukum tetap. Tahun depan diperkirakan Angie bakal keluar
penjara.
Putusan itu dirasa masih jauh
dari keadilan. Kita harapkan Jaksa segera mengajukan banding, karena Pengadilan
Tinggi sangat mungkin merubah putusan itu dengan menerapkan Pasal 12 huruf a
yang ancaman pidananya - penjara seumur hidup atau maksimum 20 tahun.
Sesungguhnya Pasal 12 huruf a itulah yang lebih tepat. Mestinya pemberian uang
sebanyak itu terkandung suatu maksud. Tidak mungkin pemberian seperti itu tidak
mengandung maksud (seperti rumusan Pasal 11). Seperti kata Jaksa, bahwa maksud
tersebut adalah untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya. Menggerakkan yang dimaksud adalah penggiringan pada
pemenangan tender pada perusahaan yang menyuap in casu Permai Group.
Putusan apapun nanti bunyinya,
baik terhadap dakwaan pertama – Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 seperti yang
sekarang, kecuali putusan bebas (rasanya tidak mungkin), yang pasti terbukti
menerima sejumlah uang suap. Putusan yang berkekuatan hukum tetap merupakan
alat bukti surat (otentik) yang membuktikan bahwa Angie memang koruptor yang
menerima suap sejumlah dana (uang) Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar AS. Dalam
perkara pencucian uang, jaksa tidak perlu membuktikan lagi Angi menerima uang
suap, cukup dengan mengajukan putusan pengadilan tersebut saja. Jaksa hanya
tinggal membuktikan “perbuatan” apa yang telah dilakukan Angie terhadap uang
yang diterimanya tersebut. Sangatlah mudah membuktikannya. Tinggal kemauan KPK
saja.
Jika jumlah uang suap yang
diterima Angie tetap Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar AS dari Grup Permai
tersebut, atau bertambah banyak atau berkurang, maka terhadap semua perbuatan
yang dilakukan Angie terhadap uang sejumlah itu atau sebagian dari jumlah itu
hampir dapat dipastikan masuk pada perbuatan yang dilarang dalam Pasal 3 UU
Pencucian Uang. Terhadap perbuatan-perbuatan itu tetap masih dapat dilakukan
penuntutan berdasarkan Pasal 3 tersebut, kecuali sudah lewat 12 tahun sejak
melakukan perbuatan tertentu terhadap uang hasil menerima suap itu [Pasal 78
ayat (3) KUHP]. Tuntutan dengan UU Pencucian uang ini tidak termasuk dilarang
oleh Pasal 76 KUHP. Perbuatan dalam Pasal 3 UU Pencucian uang bukanlah termasuk
atau sama dengan perbuatan menerima hadiah seperti Pasal 11 UUTPK tersebut.
Perbuatannya berbeda, dengan demikian kasus peristiwanya juga berbeda.
Peristiwa pencucian uang terjadi pada tempos (waktu) sesudah korupsi menerima
suap. Oleh karena perbuatannya berbeda, maka tidak ada salahnya apabila KPK
kemudian mengajukan tuntutan lagi dengan UU Pencucian uang..
Oleh karena itu, kita
mengharapkan pada KPK untuk segera menyeret Angie lagi melalui Pasal 3 UU
Pencucian Uang ini. Apabila berhasil, maka akan menjadi terobosan baru, bahwa
setiap koruptor yang menerima suap, setelah dipidana, terhadapNya masih tetap
dapat dituntut lagi dengan UU Pencucian uang. Tuntutan kedua kalinya dengan UU
Pencucaian Uang terhadap koruptor yang menerima suap, tidak diperlukan apabila
Penyidik (POLISI, JAKSA atau KPK), menyeret koruptor penerima suap
menggabungkan (perbarengan) dengan UU Pencucian Uang (Pasal 6 UU 49 Tahun
2009). Dengan demikian hakim Tipikor dapat menjatuhkan terhadap dua tindak
pidana (korupsi dan pencucian uang) sekaligus dengan menggunakan system
penjatuhan pidana absorbsi terbatas (Pasal 65 KUHP). Semoga.
Sumber : Adami Chazawi
Sumber : Adami Chazawi
Komentar
Posting Komentar