Peran Tifosi Dalam Sepakbola Italia
Di era 90an, sepakbola Italia terkenal paling ekstrem. Bukan dari hal permainan, tapi menyangkut penonton atau yang biasa disebut tifosi. Para pendukung fanatik di Negeri Spaghetti itu umumnya menyatukan diri dalam wadah ekslusif yang disebut “Ultra”. Ada kelompok “Curva Fiesole” yang mendukung Fiorentina, “Curva Nord” (Lazio), “Ultras Inter”, “Lo Juventus Club” dan lain-lain. Setiap klub Serie A punya kelompok ultra tersendiri.
Mereka juga tak sulit dikenali mengingat gemar menonjolkan atribut khas kelompoknya. Yaitu selalu bergerombol mengenakan seragam baik itu topi, kaos, atau syal tertentu. Bahkan tak sedikit pula yang mengecat wajah dan rambut dengan warna timnya dan kerap meneriakan yel-yel dukungan nyaris sepanjang laga.
Klub-klub Serie A umumnya memiliki hubungan formal dan memelihara kelompok-kelompok tersebut. Malah mereka memberikan akses khusus untuk mendapatkan tiket pertandingan-pertandingan penting. Kelompok ultra juga mendapatkan segala info yang berhubungan dengan kegiatan klub. Termasuk rencana perekrutan pemain dan pelatih baru.
Khusus untuk pemain, karena fanatisme kelompok ultra inilah mereka bisa berkarir sangat panjang. Pasalnya, klub akan menimbang berulang kali sebelum menjual atau memensiunkan pemain yang dipuja tifosi.
Gabriel Omar Batistuta (Fiorentina), Paolo Madini (AC Milan), Javier Zanetti (Internazionale) dan Francesco Totti (AS Roma) –sekedar menyebutkan nama- merupakan pemain-pemain bintang sekaligus kapten tim yang membela satu klub dalam waktu yang sangat lama. Hingga akhirnya menjadi maskot tim. Meski kemudian Batistuta hengkang ke Roma di awal musim 2000/2001 demi sebuah Scudetto, hingga kini sosoknya masih sangat melegenda di kota Firenze.
Sebaliknya, fanatisme ultra ini juga tidak jarang menjadi asal-muasal hengkangnya pemain dan pelatih tadi. Tidak percaya? Simak saja pengakuan Brian Laudrup yang pernah dua musim di Fiorentina dan AC Milan.
“Suatu saat saya mencoba bersantap di sebuah restoran, tiba-tiba saja serombongan orang datang. Enak saja mereka menarik kursi, lalu duduk mengerubungi meja saya. Hampir tak ada kehidupan pribadi bagi kami di sana,” mantan pemain nasional Denmark itu mengisahkan.
Patrick Vieira, mantan pemain AC Milan yang kemudian memilih hengkang ke Arsenal sebelum akhirnya bergabung dengan Juventus dan Inter Milan menjelaskan kepada majalah Match pada tahun 2000. “Segala tingkah laku kami sepertinya disidik dan dibicarakan. Tekanan penggemar begitu besar. Apalagi mereka tidak mudah memaafkan pemain yang tidak disukai.”
Paolo Montero, mantan bek Juventus asal Uruguay juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu sebuah kemenangan agregat 10-2 Juventus atas Omonia Nicosia di ajang Piala EUFA 1999/2000 tidak disambut gembira oleh tifosi “Tim Zebra”. Para tifosi justru kecewa, tak puas dan berang. Tidak jelas apa tuntutan tifosi. Tapi ketika Juventus merumput di Delle Alpi (kandang mereka saat itu) spanduk dan banner penuh dengan tulisan yang berisi kritikan, caci maki serta hujatan ditujukan kepada direktur klub dan para pemain.
Montero tak tahan melihat ulah tifosi. Dengan penuh kemarahan, ia menantang mereka. Sehingga sempat terjadi pertengkaran sengit. Untung cuma sebatas adu mulut dan tak ada kontak fisik.
Tifosi versus pemain memang sangat luar biasa. Tak peduli itu keluarga, teman atau tetangga. Bila berseberangan mereka akan menganggapnya ‘musuh’. Ilustrasi bisa diselami dari kasus Christian Abbiati dengan ayahnya, Luigi Abbiati.
Luigi adalah tifosi berat Inter Milan. Bahkan ketika Christian masih kecil, Luigi sempat mengharapkannya kelak bermain untuk Inter. Tapi sejak Christian menjadi kiper inti Milan, Luigi menganggapnya sebagai musuh. Luigi malah ogah datang lagi ke lapangan untuk menyaksikan langsung derby. Luigi tidak mau Inter kalah, tapi di sisi lain ia tak mau gawang anaknya kebobolan.
Lain Abbiati lain pula Gianluca Pagliuca. Saat itu mantan kiper gaek tim nasional Italia ini harus membela timnya Bologna melawan Sampdoria di babak kedua Coppa Italia 1999/2000. Ketika Pagliuca akan menempati posisinya di bawah gawang Bologna, tiba-tiba hujan lemparan menghambur ke arah mantan kiper Sampdoria itu. Pagliuca terpaksa lari menyelamatkan diri ke tengah lapangan.
Wasit meminta Pagliuca kembali ke posisinya, tetapi lagi-lagi hujan lemparan terjadi, bahkan lebih sadis. Pagliuca pun lari tunggang langgang.
“Saya benar-benar takut. Saya pernah dilempar payung di San Siro, tetapi saya tenang saja. Tetapi kalau sudah keran air yang dilemparkan saya harus menyelamatkan diri. Saya bisa mati kalau benda itu mengenai kepala saya,” kata Pagliuca.
Pagliuca, yang mengantarkan Sampdoria meriah Scudetto tahun 1991 dan final Liga Champions 1992, tidak mengerti sikap penonton terhadap dirinya.” Saya benar-benar tidak mengerti mengapa mereka membenci saya. Saya telah membela Sampdoria selama 8 tahun dan mengantar klub ini meraih Scudetto. Saya meninggalkan Sampdoria karena dijual oleh bos klub, kalau tidak saya masih setia bersama Sampdoria, “ tambahnya.
Mungkin pendukung itu masih jengkel dengan Bologna yang menyingkirkan Sampdoria di Intertoto Cup dan Coppa Italia musim 1998/1999. Dan pendukung Sampdoria tampak masih belum bisa menerima skor 2-2 pada akhir kompetisi musim yang sama yang membuat mereka terperosok ke Serie B untuk kali pertama dalam 17 tahun. Pihak Sampdoria merasa Bologna diuntungkan wasit yang memberi hadiah tendangan penalti pada saat-saat akhir.
“Tetapi bukankah musim itu (1998/99) saya bermain untuk Inter Milan?” kata Pagliuca sambil geleng-geleng kepala.
Kisah lainnya adalah fakta bahwa penyerang berambut putih Fabrizio Ravanelli yang pernah menjadi calon kuat pengganti striker Fiorentina Edmundo “The Animal” Alves pada awal musim 1999/2000 ditolak tifosi lantaran dianggap ‘tidak bersih lingkungan’ ( pernah berkostum Juventus, Red.)
"Pelatih menginginkan saya, presiden klub juga menginginkan saya, dan tampaknya para pemain pun mau menerima saya. tetapi saya dengar pendukung Fiorentina dengan tegas menolak kehadiran saya," sesal Ravanelli saat itu.
Tapi hal itu tidak berlaku bagi Giovanni Trappattoni (pelatih), Moreno Torricelli dan Angelo Di Livio. Ketiga sosok yang pernah berkostum Juventus ini justru bisa diterima publik Firenze pada musim 1998/99 setelah semuanya bersumpah di hadapan tifosi dan menjalani ritual penyucian ‘Degobbizzazione’.
Kasus yang sama juga terjadi pada pelatih Marcelo Lippi, kiper Angelo Peruzzi, gelandang Vladimir Jugovic dan Paulo Sousa, serta penyerang Christian Vieri dan Roberto Baggio. Pada awalnya, mereka pun diprotes habis-habisan oleh tifosi. Tapi kemudian diterima dengan lapang dada oleh Inter Milan setelah dosa-dosanya (keterlibatan dengan Juve, Red.) dimaafkan tifosi.
Bukan hanya para alumni Juventus yang ditolak sebagian besar klub-klub Serie A Italia, tetapi juga sebaliknya. Misalnya, ketika Carlo Ancelotti kali pertama menukangi Juventus. Para tifosi Bianconeri tidak segan-segan menolaknya dengan alasan tidak adanya hubungan keluarga antara Ancelotti dengn kubu Juventus.
Sewaktu masih bermain, Carletto, sapaannya, adalah mantan bintang AS Roma tahun 1980an dan ikut mengantar klub itu menjuarai Liga Italia tahun 1983 dan tampil di final Liga Champions tahun berikutnya. Ia lantas pindah ke AC Milan dan meraih banyak gelar di sana.
Saat menjadi pelatih, ia pernah menahkodai Reggiana 1995/96 dan Parma 96-98. Bukankah Roma, AC Milan dan Parma musuh musuh besar Juve?
“Nilailah saya atas dasar apa yang saya hasilkan,” katanya kepada para pemrotes. Protes ini memang keras, tapi Ancelotti tetap menanggani Juve meskipun tifosi keras menentangnya.
Yang tak kalah unik adalah kedatangan Thiery Henry ke Juventus pada pertengahan musim 1998/1999. Saat itu kedatangannya tidak lepas dari cedera panjang yang dialami Alessandro Del Peiro. Pelatih Juventus saat itu, Marcelo Lippi, awalnya hanya ingin melakukan tambal sulam untuk membuat timnya tetap tajam tanpa sang maskot. Tetapi karena tidak berhasil, akhirnya ia mencari pengganti. Pilihan jatuh kepada Juan Eduardo Esnaider dari Espanyol dan Thiery Henry dari AS Monaco.
Lupakan dulu ‘Si Playboy’ Esnaider, dan kita fokuskan ke Henry. Sesampainya di Turin, di depan wartawan Henry mengatakan bahwa Marco Van Basten, superstar asal Belanda di akhir dekade 80an dan awal 90an adalah idolanya. Van Basten sendiri merupakan bintang AC Milan yang membawa tim itu digdaya dengan berbagai gelar lokal dan Eropa. Dan bukan rahasia kalau tifosi Juventus sangat membencinya.
Menjelang musim 1999/2000 dimulai kejadian menghebohkan datang dari Delle Alpi, kandang Juventus saat itu. Pulihnya Del Piero membuat manajemen klub menjual Henry ke Arsenal. Namun menyusul kabar yang datang dari media massa Italia, bahwa penjualan Henry bukan semata-mata karena sembuhnya Alex, sapaan Del Piero, melainkan kekaguman Henry kepada Van Basten. Ya, para tifosi memaksa Juve menjualnya jauh-jauh dari Italia karena alasan itu. Ada-ada saja sepakbola Italia ini.
Naskah: Riki Noviana (VIOLA CLUB INDONESIA)
Sumber: Harian La Gazzetta dello Sport, Buku European Football-A Fan’s Handbook, Buletin Hola! Fiorentina (Media Komunikasi Ultras Viola) 1999, Tabloid Olahraga Bola, Majalah Liga Italia.
Komentar
Posting Komentar