Sejarah Fiorentina (Bagian 5); Juventus Curi Gelar I Viola

Dekade 70-an adalah era frusutasi berkepanjangan bagi pemain dan pendukung Fiorentina. Mereka punya playmaker hebat Giancarlo Antognoni, tapi kualitas pemain lainnya tak mendukung. Padahal, Antognoni sendiri andalan tim nasional Italia.

Dasawarasa berikutnya Fiorentina mencoba bangkit di bawah kepemimpinan Presiden Ranieri Pontello. Antara lain, ia merekrut pelatih Giancarlo De Sisti yang pernah menjadi pemain andalan Fiorentina maupun Italia.

Untuk musim 1981/1982 Sisti mempertahankan Antognoni yang mulai memasuki usia emas. Ia mengkombinasikannya dengan sejumlah pemain muda berbakat seperti libero Pietro Vierchowod dan penyerang Daniele Massaro.

Selama separuh musim Fiorentina memimpin liga. Tapi menjelang pertandingan terakhir perolehan nilai mereka bisa disamai oleh Juventus. Pada partai pamungkas, Juventus bertandang ke Catanzaro, sedangkan Fiorentina ke Cagliari.

Hingga akhir babak pertama, kedudukan masih sama-sama imbang tanpa gol. Para pengamat pun mulai membicarakan kemungkinan penentuan juara lewat pertandingan play off.

Tapi terjadilah skandal yang menghebohkan. Pada babak kedua I Viola mencetak gol lewat Daniel Bertoni - ada juga yang menyebut pencetaknya Francesco Graziani. Tapi entah kenapa wasit menganulir. Di saat bersamaan, Juventus malah dihadiahi penalti pada menit ke-75.

Gelar pun terbang ke Turin diiringi tangis kepedihan para Fiorentini. Selama berminggu-minggu, mereka turun ke jalanan untuk memprotes kepemimpinan wasit. Tapi FIGC (PSSI-nya Italia) tak bergeming dan tetap mengesahkan gelar Juventus.

Sejak itulah berkembang 'teori konspirasi' dan politik uang Juventus dalam percaturan Serie A. Makanya, ketika kasus serupa dialami Inter pada musim 1997/1998, pengurus Fiorentina yang paling vokal mensinyalir adanya konspirasi tersebut.

Itu pula sebabnya kota Firenze berpesta semalaman ketika Fiorentina memukul Juventus 3-0 pada musim 1997/1998. Bagi mereka kemenangan itu tak ubahnya sukses meraih Scudetto.

Luka publik Firenze terhadap Juventus memang sangat dalam. Setelah Juventus 'mencuri' Scudetto 1982 dari genggaman Fiorentina, pada musim 1989/90 Bianconeri kembali berulah.

Semua berawal di musim 1985/1986, Fiorentina merekrut pemain muda penuh talenta, Roberto Baggio, dari Vicenza. Di klub barunya, pemain berambut ikal ini tumbuh sebagi penyerang elegan dan haus gol.

Empat tahun berselang, tepatnya musim 19989/1990, bersama gelandang asal Brasil Carlos Dunga, Baggio membawa Fiorentina melaju ke final Piala UEFA. Lagi-lagi lawan mereka adalah Juventus.

Pada pertandingan pertama di Turin, Fiorentina menyerah 1-3. Tapi mereka tetap optimis bisa merebut gelar juara dengan kemenangan di kandang sendiri. Namun nasib kembali tak berpihak kepada Fiorentina. Gara-gara pendukungnya dianggap bikin onar di Turin, FIGC (PSSI-nya Italia) melarang Fiorentina menggelar partai kedua di stadion Artemio Franchi.

Sialnya, 'kota netral' yang terpilih adalah Avellino. Kota kecil ini memang tak punya klub besar. Tapi pendukung Fiorentina tetap tak senang. Pasalnya, warga Avellino punya tradisi mendukung Juventus. Benar saja, tanpa dukungan publik setempat, Fiorentina dipaksa main imbang tanpa gol. Gelar pun melayang lagi.

Yang lebih menyakitkan, hanya beberapa pekan berselang, Juventus menikam I Viola dari belakang. Menjelang Piala Dunia 1990, tiba-tiba La Vecchia Signora membeli Baggio dengan rekor transfer - saat itu - 8 juta poundsterling. Baggio saat itu mengaku tak berniat meninggalkan Firenze dengan mengatakan; "Saya dipaksa menerima transfer ini."

Seisi kota Firenze pun meradang. Pendukung yang marah bahkan melampiaskannya lewat aksi-aksi kekerasan di jalanan kota.  Bendera-bendera Juventus dibakar dan sekitar 50 orang terluka. Juventus dituduh tak cuma 'merampok' scudetto dan Piala UEFA tapi bintang kesayangan mereka.

Baca juga :

VIOLA VS JUVE

VIOLA VS JUVE II

VIOLA VS JUVE III

VIOLA VS JUVE IV


*Dari Berbagai Sumber*

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer