RUU Pengadaan Tanah : Jalan Mulus Menggusur Hak Rakyat atas Tanah
Bicara undang-undang, sesungguhnya kita harus sadar bahwa undang-undang tidak pernah lahir di ruang hukum semata.Melainkan undang-undang selalu merepresentasikan corak produksi masyarakatnya.Hal inilah yang perlu kita sadari dari awal, bagaimana corak produksi masyarakat kita saat ini. Sehingga dari awal kita memahami benar dasar pijakan analisa sosial kita terhadap proses legislasi di parlemen, disanalah letaknya tantangan itu.
Dalam periode masa jabatan DPR 2009-2014 yang baru berlangsung selama 17 bulan ini, telah diloloskan beberapa UU berbasis agraria yang dengan ramah memfasilitasi kepentingan asing, diantaranya : UU Perumahan dan Permukiman yang justru lebih banyak memfasilitasi pembangunan perumahan untuk kepentingan komersil termasuk komersil asing daripada untuk memfasilitasi penyediaan perumahan untuk rakyat miskin, berikutnya UU Holtikultura yang memfasilitasi masuknya penguasaan modal asing di sektor perkebunan holtikultura, termasuk di dalamnya penguasaan lahan, introduksi benih, dan penguasaan pasar. Salah satu implementasinya nanti adalah program MIFEE. Bila dipelajari program ini tak ubahnya proyek pembukaan Sumatera Timur di masa kolonial, untuk perkebunan-perkebunan kolonial saat itu, hanya saja tentu kali ini modelnya dimodifikasi dengan teknologi dan pengetahuan baru.
Berikutnya akan segera menyusul pembahasan RUU diantaranya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang akan menyelipkan kepemilikan asing atas satuan rumah susun, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang akan membuka kembali pertarungan antara orientasi impor atau pembelaan petani, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang akan memudahkan pengangkutan minyak dan gas oleh perusahaan asing, RUU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan yang akan memuluskan proyek-proyek pembangunan infrastrukturd dll.
Jadi bumi, air, dan seluruh kekayaan alam di Indonesia ini sudah disiapkan untuk sebanyak-banyaknya diserahkan kepada modal asing. Perubahan politik 1998 baru merebut ruang politik dari tangan otoritarian, namun yang segera meresponnya adalah kekuatan modal, menguasai panggung politik partai-partai tanpa kecuali, dan membuka dengan cepat proses liberalisasi ekonomi. Di sinilah tantangan besar kita untuk meluruskan kembali jalannya perubahan politik.
UU untuk Kepentingan Modal
Infrastruktur adalah bagian penting dari percepatan akses terhadap produksi dan pasar. Prinsip dasarnya masih sama dengan fase kolonial. Jalan dibangun untuk mempercepat modal mencapai sentra-sentra produksi, dan sebaliknya membawa hasil-hasil produksi tersebut mencapai pasar.Tetntu saja yang dimaksud adalah sentra produksi besar, sebab orientasi pembangunan infrastruktur adalah jalan-jalan besar dan tol.
Sementara jalan di perdesaan tidak menjadi orientasi pembangunan infrastruktur, padahal jalan-jalan inilah yang lebih penting bagi petani agar mereka bisa dengan cepat terhubung dengan pasar sehingga dapat memangkas rantai ijon yang memanfaatkan keterbatasan akses transportasi petani itu untuk mengambil keuntungan yang besar.
Oleh karena infrastruktur ini adalah persoalan penting dalam percepatan perdagangan, maka agenda yang mula-mula diselenggarakan oleh Presiden dan wapres pasca pemilu adalah ‘national summit’ yang menegaskan perlunya pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan listrik. National summit 2009 pada dasarnya hanya ingin memastikan pelaksanaan atas program yang telah disusun 5 tahun sebelumnya, namun gagal dilaksanakan pemerintahan SBY episode I.
Salah satu prasyarat bagi percepatan pembangunan infrastruktur adalah ada perangkat perundang-undangan yang mempermudah dilakukannya akuisisi lahan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Keppres No 55 Tahun 1993 sudah dianggap terlalu jadul, lalu dibuatlah Perpres 36 tahun 2006 yang diubah dengan Perpres No 65 Tahun 2006. Namun Perpres bukanlah perangkat hukum yang cukup mempunyai legitimasi pengambilalihan lahan bagi kepentingan pembangunan infrastruktur. UU No 10 Tahun 2004 pasal 8 jelas-jelas mengatakan bahwa pengaturan mengenai HAK ASASI MANUSIA harus diatur dengan peraturan setingkat undang-undang, tidak boleh oleh aturan di bawah undang-undang.
Gertakan “Century gate” yang rupanya menghasilkan SETGAB, rupanya mempercepat rencana pembangunan infrastruktur ini. Ketika para kartel bernegosiasi ulang dengan penguasa, salah satu bonus kecilnya adalah kepastian pengurangan hambatan proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Sebagaimana kita ketahui bersama indikasi langsungnya dapat kita lihat dalam pembagian penanganan proyek pembangunan TOL dan turunnya dana bantuan layanan umum (BLU).
Kuatnya orientasi modal mempengaruhi RUU ini dapat kita lihat dari substansi dalam RUU, berikut ini adalah pokok-pokok substansi RUU yang harus kita awasi :
Pertama : Pasal 4 : pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan meliputi :
a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum; dan
b. Pengadaan tanah untuk kepentingan usaha swasta.
Pasal ini menunjukkan definisi kepentingan pembangunan mewakili dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta.Kepentingan umum mewakili public purposes, sementara usaha swasta mewakili private purposes.Pertanyaannya bolehkan private purposes diberikan kedudukan urgensi dan selanjutnya kemudahan sebagaimana kepentingan umum, rasanya itu terlalu berlebihan. Pasal ini menunjukan besarnya kepentingan modal di balik RUU ini.
Pasal 4 ini akan mempengaruhi pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 54, pasal 55, pasal 56, pasal 57, dan pasal 58. Bila kita bandingkan dengan 3 peraturan mengenai pengambilan tanah sebelumnya maka RUU ini lebih mundur dari Keppres No 55 tahun 1993, Perpres No 36 tahun 2006 dan Perpres No 65 tahun 2006. Dalam 3 peraturan tersebut secara eksplisit disebut pengadaaan tanah untuk kepentingan umum saja.
Selanjutnya mengenai definisi kepentingan umum dimuat dalam pasal 13.Pasal ini menyebutkan 17 jenis kepentingan umum, dimana kepentingan terakhir adalah kepentingan yang dapat dijabarkan tergantung kepentingan pemerintah. Kepntingan tersebut lebih banyak daripada yang dimuat dalam Keppres No 55 Tahun 1993 yang menyebut 14 jenis, dan Perpres No 36 tahun 2006 serta Perpres No 65 Tahun 2006 menyebut 7 jenis kepentingan umum.
Kedua, pasal 1 ayat 6 menyebutkan hak pengelolaan. Hak pengelolaan seringkali disebut dalam banyak UU seperti UU Perumahan dan permukiman, padahal sesungguhnya hak ini tidak dikenal dalam UU No 5 tahun 1960 pasal 16.
Ketiga, mengenai jangka waktu bagi pelepasan hak. Total keseluruhan waktu bagi rakyat untuk bernegosiasi mengenai rencana pengambilan hak hanyalah 3 bulan (2 bulan, perpanjang 1 bulan),dalam pasal 23 RUU. Sementara dalam Perpres No 65 Tahun 2006 lama waktu adalah 120 atau 4 bulan. Waktu pengumuman mengenai tanah-tanah yang akan diambil haknya hanya berlangsung 7 hari dengan pencantuman pada kantor kepala desa/camat, pasal 33 ayat 1. Waktu yang sangat pendek dan akses yang belum tentu dapat selalu dijangkau masyarakat terutama di luar Jawa yang akses transportasi dan informasi sangat terbatas.Tak mungkin cukup waktu untuk melakukan verifikasi data tersebut, dan tak cukup waktu untuk menolaknya. Jika pun ada penolakan maka pasal 22, 23, 24, 25 tidak menyediakan ruang itu, sebab penolakan disampaikan kepada pejabat berwenang yaitu kepada daerah Bupati/Walikota, Gubernur dan menteri, dan keputusan akhirnya ada di tangan pejabat tersebut. Tak ada ruang negosiasi yang cukup dan daya tawar yang cukup bagi rakyat untuk menolak.
Keempat, pasal 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48 adalah mengenai ganti rugi. Ganti kerugian berdasar pasal-pasal tersebut adalah 1) ditetapkan oleh tim penilai yaitu BPN tanpa mempertimbangkan NJOP. Walaupun NJOP seringkali berada di bawah harga pasar namun setidaknya NJOP memberikan patokan standar nilai tanah.Ketentuan ini memungkinkan penilaian harga tanah jauh dari kelayakan.Selanjutnya ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme konsinyasi (penitipan uang ganti rugi melalui pengadilan), mekanisme konsinyasi ini banyak merugikan masyarakat karena bersifat memaksa. Pasal 46 RUU lebih parah lagi, dalam pasal ini tanah yang sedang dalam sengketa pengadilan, sedang bersengketa kepemilikannya, dan sedang diletakkan sita jaminan oleh pejabat, tetap tidak dikecualikan dari pengambilalihan lahan. Ini benar-benar melawan asas hukum perdata.Mengenai objek ganti rugi meliputi tanah, raung atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan/atau kerugian lainnya yang dapat dinilai.Kerugian sosial menyangkut hilangnya tempat tinggal, akses pekerjaan, akses pendidikan dan kesehatan tidak pernah dijadikan dasar perhitungan, padahal askes sosial ini sangatlah penting bagi masyarakat.
Kelima, pasal 42 RUU mengenai perlawanan hak. Perlawanan hak hanya difasilitasi dalam soal ganti kerugian yang apabila tidak disepakati maka pengadilan negeri memutus dalam waktu 30 hari, sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat. Sangat terbatas ruang perlawanan hak bagi masyarakat.Mekanismenya pun disepelakan, seakan-akan ini soal perkara tipiring yang singkat dan sederhana saja.
Demikianlah beberapa substansi pokok dalam RUU ini.Substansi-substansi tersebut menunjukkan kuatnya dominasi kepentingan modal untuk merampas hak-hak rakyat. RUU ini mengabaikan 4 hal pokok dalam pengambilan lahan yang harus diperhatikan, yaitu 1) Unsur kepentingan umum; 2) Adanya Regulasi yang adil dan menjamin kepastian hukum, 3) Kompensasi, 4) Mekanisme perlawanan hak bagi rakyat.
Kita patut bertanya kemana sesungguhnya nasib anak bangsa ini diarahkan oleh penguasa. Berbicara mengenai tanah, semestinya kita tidak bicara sepotong-sepotong demi kepentingan beberapa gelintir elite dan modal, sebab tanah tempat kita berpijak ini adalah juga tanah tempat lebih dari 200 juta rakyat Indonesia mencari nafkah dan bergantung hidup.
Hari ini, DPR telah membentuk Pansus RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentinagn Pembangunan.Sidang sudah dimulai hingga tahap penyusunan mekanisme pembahasan RUU.Pembentukan pansus sesungguhnya memberikan isyarat bahwa RUU ini hendak dibahas dengan kecepatan penuh, secepat-cepatnya.Itu berbeda dengan RUU yang dibahas di Komisi sehingga perdebatannya dapat kualitatif.Tetapi pembahasan dilakukan di pansus, bukan di Komisi 2 yang semestinya membidangi persoalan pertanahan.Sudah pasti bahwa perspektif sebagian besar anggota DPR adalah bahwa RUU ini termasuk sektor infrastruktur, bukan domain agraria (baca: pertanahan).Ini adalah perspektif sektoralisme yang sangat mendasar. Dapat diduga bahwa dengan demikian pansus ini akan bekerja diluar dari harapan kita, kecuali jika gerakan ekstraparlemen memberikan pengawasan yang ketat terhadap pembahasan RUU ini.
* Budiman Sudjatmiko (Anggota Komisi II DPR RI)
Naskah dibuat dan disampaikan dalam acara diskusi meja bundar yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 24 Februari 2011, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar