BPHTB bukan lagi Pajak Pusat
Mulai 1 Januari 2011, pemerintah pusat tidak lagi menarik bea tersebut. Berdasarkan Pasal 180 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi, pemerintah daerah dapat memungut BPHTB dengan syarat menerbitkan peraturan daerah yang berkaitan mengenai itu.
BPHTB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat sebagai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Bea ini dipungut ketika pembelian rumah ataupun tanah yang seringkali pengurusannya dilakukan oleh pengembang dan biayanya dibebankan pada biaya penjualan.
Sebagaimana tercantum pada landasan umum undang undang tersebut hal yang melatar belakangi perubahan kebijakan yang cukup mendasar ini adalah ;
Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Kondisi yang lain juga untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan daerah, dimana masyarakat daerah akan secara langsung akan ikut mengkontrol dikarenakan kewajiban pajak dan restribusinya langsung dibayarkan pada pemerintah daerah masing masing.
Selain itu diharapkan dengan kewenangan yang besar bagi pemerintah daerah untuk membuat peraturan tentang pajak dan restribusi untuk perluasan basis pajak tetap harus dilaksanakan dengan prinsip pajak yang baik, dimana peraturan tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering.
Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi.
Terkait dengan terealisasinya penetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan, selanjutnya disingkat BPHTB, sampai dengan memasuki awal tahun ini, apakah penerapannya sudah sesuai dengan ketetapan yang mengaturnya, atau hal ini masih menjadikan bahan wacana yang memancing polemik antara komponen yang terkait bukan hanya pemerintah pusat atau pemerintah daerah, tetapi juga departemen dan instansi terkait lainnya.
Sampai dengan batas waktu pelaksanaan tanggal 1 Januari 2011, ternyata masih banyak kendala penerapan dan kepastian hukum atas transaksi pemungutun BPHTB yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Satu hal adalah terjadinya keterlambatan daerah untuk mengatisipasi penyerahan kewenangan ini dengan menerbitkan Perda pemungutan BPHTB. Dari data release berita Antara tanggal 28 Desember 2010, berdasarkan data dari Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu Herry Purnomo yang sekaligus menjabat sebagai Dirjen Perimbangan Keuangan, mengungkapkan bahwa hingga awal Desember 2010, baru sekitar 52 daerah yang telah menyiapkan Perda dan 142 daerah dalam proses pembahasan dan evaluasi Perda. Masih ada 14 daerah yang belum menyusun Perda dan 283 daerah yang belum memberikan informasi.
Hal ini tentunya menjadi gambaran bahwa telah terjadi potensi ketersendatan dalam melakukan transaksi terkait dengan BPHTB, dikarenakan pihak pemerintah belum siap untuk melaksanakannya; karena sebagai landasan pemungutan sebagaimana didasarkan pada pasal 180 angka 6 oleh Undang Undang No 28 tahun 2009 tersebut. Pemerintah daerahpun akan mengalami kerugian karena terjadi potensi berkurannya pemasukan dari pemungutan BPHTB ini dikarenakan belum mengeluarkan PERDA BPHTB.
Dari data angka Setidaknya 160 daerah yang telah menyiapkan peraturan daerah BPHTB atau sekitar 66,6 persen dari total penerimaan negara dari BPHTB tahun lalu yang sebesar Rp 7,3 triliun. Berarti ada sekitar 33 persen daerah yang belum memiliki peraturan daerah.
Pemerintah pusat sudah mengantisipasi untuk masa transisi ini dengan menerbitkan peraturan terkait yaitu :
1. Peraturan Bersama Menteri Keuangan Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 Nomor 53 Tahun 2010 tanggal 18 Oktober 2010, tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Atau Bangunan sebagai Pajak Daerah.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2010 tanggal 22 Oktober 2010, tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan Bea perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan sebagai Pajak Daerah.
Tahapan yang dicantumkan dalam Peraturan menteri bersama antara Dirjen Pajak dan pemerintah daerah adalah untuk melakukan kompilasi masing masing pihak sebagai berikut:
a) Dirjen Pajak melakukan kompilasi untuk menyiapkan;
a) peraturan pelaksanaan BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
b) SOP terkait BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
c) struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
d) data piutang BPHTB beserta berkas pendukungnya, paling lambat tanggal 31 Desember 2010;
e) data pendukung dalam rangka pelaksanaan pemungutan BPHTB oleh Pemerintah Daerah berupa data Nilai Jual Objek Pajak, paling lambat tanggal 1 Januari 2011; dan
f) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, paling lambat tanggal 31 Desember 2010.
2. Pemerintah daerah melakukan kompilasi untuk menyiapkan :
a) peraturan pelaksanaan BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
b) SOP terkait BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
c) struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan BPHTB, paling lambat tanggal 30 September 2010;
d) data piutang BPHTB beserta berkas pendukungnya, paling lambat tanggal 31 Desember 2010;
e) data pendukung dalam rangka pelaksanaan pemungutan BPHTB oleh Pemerintah Daerah berupa data Nilai Jual Objek Pajak, paling lambat tanggal 1 Januari 2011; dan
f) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, paling lambat tanggal 31 Desember 2010.
Tetapi keluarnya kedua peraturan ini belum sepenuhnya menjawab potensi kendala yang ada terkait dengan kondisi masing masing pemerintah daerah yang mungkin menyebabkan perbedaan persepsi dan perbedaan penafsiran dari transaksi BPHTB ini untuk dituangkan dalam PERDA BPHTB,itulah kirannya sampai batas waktu masih ada Pemda yang belum siap. Beda penafsiran itu bisa muncut terkait dengan ; Pertama ,” Hak atas tanah dan bangunan tetap dapat diproses tanpa pemungutan BPHTB, kalo ini terjadi Pemda jelas rugi, karena kehilangan potensi penerimaan pajak. Penafsiran Kedua,” Peralihan tanah dan bangunan tetap bisa diprose, sementara pungutan BPHTB adalah urusan PEMDA, sedangkan legalitas hak atas tanah dan bangunan menjadi urusan pusat melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan BPN tidak memproses lagi peralihan atas hak atas tanah dan bangunan lagi.
Sebagaimana yang telah berjalan sebelumnya kepemilikan hak atas tanah dan bangunan bisa sah berdasarkan sertifikat yang diterbitkan BPN, bila pada saat transaksi Akta Jual Beli, sudah dibayarkan BPHTBnya. Notaris sebagai pihak yang mengesahkan AJB tidak akan mau melakukan kewajibannya bila belum dilakukan pembayaran BPHTB, disinilah potensi keruwetan atas pelaksanaan dari pelimpahan pemindahan pemungutan BPHTB ke pemerintah daerah, bila Pemerintah Daerah belum siap dengan perangkat hukum berupa Perdanya.
Lantas apakah bila Pemda sampai sekarang belum menerbitkan Peraturan daerah transaksi terkait dengan pengalihan hak dan atas bangunan ini tetap bisa dilangsungkan?.
Berdasarkan pers realease melalui Tempo Interaktif, Menteri Perumahan Rakyat menjelaskan bahwa “Transaksi properti tetap bisa berjalan, meskipun belum diterbitkan perda BPHTB. Selama perda BPHTB belum terbit, maka pemda tidak bisa memungut BPHTB dari masyarakat,” tegas Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa seusai pelantikan pejabat eselon 3 Kemenpera di Jakarta, Senin (24/1).
Jika pemungutan BPHTB belum dilakukan, akta jual beli (AJB) belum bisa dikeluarkan. Untuk itu, notaris dapat mengeluarkan mekanisme perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang sesuai dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pengadaan Perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera.
Hal ini sesuai dengan Keputusan ini sesuai surat edaran Menteri Keuangan Agus Martowardojo bernomor S-632/MK.07/2010 tertanggal 30 November 2010 kepada sejumlah pemda untuk segera merealisasikan perda BPHTB.
Ketentuan itu diharapkan bisa menjawab adanya kekosongan kepastian hukum pengenaan BPHTB pada saat transaksi terkit dengan kepemilikan tahan dan bangunan. Selain itu diperlukan langkah cepat antara pihak dan lembaga terkait untuk mengatasi ketersendatan transaksi BPHTB, diantaranya : Perumnas, Kemenpera, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Badan pertanahan Nasional. Diharapkan lembaga inilah yang bisa mencarikan solusi untuk bisa memberikan kepastian pelaksanaan peraturan ini terutama pada masa transisi.
Komentar
Posting Komentar