STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT !!!
MENYIKAPI KENERJA KEPOLISIAN SULAWESI TENGGARA
Saat ini kita kembali menemukan kenyataan di lapangan bahwa janji Pemerintah dan Kepolisian untuk melakukan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia masih jauh dari kenyataan, jikalau belum bisa dikatan sebagai sebuah retorik kosong (KEBOHONGAN) demi memupuk citra. Dalih penertiban dan gangguan terhadap keamanan yang digunakan aparat kepolisian dan pemerintah dalam menangani setiap warga Negara yang menyampaikan pendapat (Unjuk Rasa) selalu dijadikan legitimasi untuk merepresi dan menangkap setiap warga negaranya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Cara-cara yang lebih mengedepankan tindakan represif ini mengingatkan kita kembali kepada pola Orde Baru dalam menghadapi setiap perjuagan rakyat yang menuntut hak dasarnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa aparat kepolisian dan aparat Negara lainnya mulai kembali menempatkan dirinya sebagai penjaga stabilisasi kemananan dalam memastikan ekspansi modal dan keberlangsuangan kekuasaan yang korup.
Dalam beberapa kasus kepolisian Sulawesi tenggara semakin mengukuhkan posisinya sebagai alat Negara dan ekspansi modal dalam merepresif mahasiswa dan rakyat.
Pertama,
PT. Arga Morini Indah (AMI) yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Buton seluas 2.000 Ha di Desa Wulu dan 1.234 Ha di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan rakyat. Bagaimana tidak, karena kawasan pertambangan nikel yang dikuasakan kepada PT. AMI adalah sumber pangan warga dan juga satu-satunya sumber air bersih warga talaga. Saat ini, masyarakat tidak bisa lagi berproduksi di atas lahan pertanian dan kebun mereka, karena telah dikuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Alternatif lain yang biasa dilakukan oleh warga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yakni sebagai nelayan dan petambak budidaya juga tidak bisa lagi dilakukan karena lokasi budidaya mereka sudah dipenuhi lumpur-lumpur pertambangan, dan bila hendak menangkap ikan, harus mengayuh sampai 2 mil jauhnya.
Ketidakberdayaan warga talaga menghadapi ekspansi pertambangan PT. AMI dan tindakan represif aparat keamanan yang mendukungnya menghadapkan warga pada pilihan untuk menerima ganti rugi. Ironisnya, ganti rugi pun berlangsung secara tidak adil dan manipulatif. Sebab pihak perusahaan tidak memenuhi kesepakatan ganti rugi yang telah diputuskan bersama. Keputusan bersama menetapkan bahwa ganti rugi tanah sebesar Rp.5.000/m2 dan ganti rugi tanaman sebesar Rp.500.000/pohon, dan kedua-duanya diganti oleh PT. AMI. Tetapi PT. AMI mengingkari kesepakatan tersebut; pertama, besaran ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan, dimana tanah dihargai 2.500/m2. Kedua, warga diminta memilih antara menerima ganti rugi tanaman atau tanah. Bagi warga yang menerima ganri rugi tanah, maka tidak mendapatkan ganti rugi tanaman, begitu juga sebaliknya.
Terhadap ketidakadilan yang terus-menerus berlangsung dan penderitaan yang dialami oleh warga Talaga Raya sejak beroperasinya PT. AMI inilah yang melahirkan proses perlawanan rakyat. Perlawanan warga dilakukan dengan melakukan aksi damai di depan kantor operasional PT.AMI dan berhasil menduduki kantor tersebut. aksi berjalan damai sampai pada akhirnya bentrok tak terhindarkan setelah preman- preman bersenjata yang di sewa PT.AMI datang. aparat memperlihatkan ketidakberpihakan kepada warga yang menuntut haknya, dan lebih memilih untuk melindungi perusahaan dari pada warganya. Aksi damai yang dilakukan oleh warga bersama aktivis pendamping masyarakat pada tanggal 15 Mei 2010, diikuti dengan penangkapan para aktivis pendamping dan warga pada tanggal 17 Mei 2010. Sebanyak 13 orang ditangkap dengan surat perintah penangkapan nomor: SP. Kap/77/V/2010 dengan tuduhan pengrusakan fasilitas milik PT. AMI, kemudian pada tanggal 18 Mei 2010 (malam hari) polisi kembali menangkap warga.
Ke dua,
pada 15 Desember 2010 saat mahasiswa melakukan aksi unjukrasa menyikapi permasalahan pedagang Pasar Baru, telah terjadi penganiayaan beberapa aktivis mahasiswa dan tindakan pengancaman dengan menggunakan pistol ke arah masa aksi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terkait penolakan relokasi pedagang Pasar Baru. perlakuan itu di balas oleh masyarakat dan mahasiswa dengan tindak pengrusakan Pos Polisi di depan Kantor Walikota Kendari.
buntut dari aksi pengrusakan itu terjadi penahanan aktivis mahasiswa serta pedagang dan diproses hukum, tetapi sebaliknya aparat kepolisian yang melakukan tindak penganiayaan dan pengancaman sama sekali tidak tersentuh hukum berbeda dengan mahasiswa dan masyarakat yang harus mendekam di tahanan selama 1 tahun 6 bulan.
ke tiga,
senin (28/3/2011) Tragedi penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara oleh aparat kepolisian pada 27 Maret 2008 silam, kembali disuarakan elemen mahasiswa.
Sebagai bentuk protes atas tragedi itu, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Haluoleo Kendari, berdemonstrasi di Markas Polda Sulawesi Tenggara.
Dipimpin Ketua BEM Fakultas Tekhnik, Abd Rahim, para mahasiswa yang memulai aksinya dari kampus, menggelar aksi konvoi menuju Markas Polda. Saat berorasi didepan Mapolda, Ketua BEM Teknik menyerukan kepada Kapolda Sultra Brigjend Polisi Sigit Sudarmanto untuk mengusut tuntas kasus penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo yang melibatkan anggota kepolisian pada 27 Maret 2008 silam. Tak hanya itu, Kapolda juga dituntut untuk meninjau kembali kinerja aparatnya dan bila perlu menjatuhi sanksi kepada para anggotanya yang menjadi pelaku penyerangan itu tanpa pandang bulu.
Gagal bertemu Kapolda, para mahasiswa kemudian meninggalkan Markas Polda dan melanjutkan aksi di perempatan Jalan Ahmad Yani, didepan Kampus Universitas Terbuka dan PGSD. Mahasiswa kemudian menggelar aksi orasi secara bergantian.
setelah melakukan orasi selama dua jam, mahasiswa meninggalkan menuju kampus teknik unhalu dan sesampainya di kampus massa langsung membubarkan diri dan sebahagian mahasiswa langsung pulang. namun selang setengah jam membubarkan diri, terdengar kabar bahwa tiga orang mahasiswa teknik yang sebelumnya menjadi massa aksi di aniaya oleh oknum yang di duga kuat dari kepolisian. sehingga massa yang telah membubarkan diri mendengar rekannya di aniaya sontak berhamburan dan melakukan pelemparan terhadap pos polisi di depan kampus baru universitas haluoleo. malamnya sekitar pukul 22.00 wita tindak penganiayaan tersebut di laporkan ke polda sultra dan sampai hari ini belum jelas proses hukumnya.
dari kejadian penyerangan pos polisi tersebut, menurut kasat reskrim polres kota kendari pada siaran persnya di berbagai media lokal pihak kepolisian telah melayangkan enam surat panggilan pemeriksaan kepada mahasiswa teknik sebagai saksi ke gedung rektorat universitas haluoleo.
disini mampak jelaslah aparat kepolisian begitu antusias, proaktif dan nampak garang dalam upaya penegakan hukum jika pelaku pelanggaran hukumnya itu adalah mahasiswa dan rakyat biasa. tetapi dalam waktu yang sama kegarangannya bagai macan itu berubah menjadi seperti kucing ompong jika berhadapan dengan penguasa, pemilik modal, elit dan anak pejabat.
beberapa kasus yang sampai saat ini tidak mampu diselesaikan oleh polda sultra :
1. penyerbuan aparat polisi ke Kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari
2. Kasus perampasan lahan (land grabbing) juga terjadi secara sistematis pada masyarakat adat (MA): Kontu di Muna, Sambawa di Konawe Utara, Lipu-Katobengke di Kota Baubau, petani Bungi-Sorawolio yang dijarah hutan dan kekayaan alamnya untuk pertambangan nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di kota Baubau, warga di sekitar Lapangan Terbang Maranggo di Tomia Kabupaten Wakatobi, dan kasus penjarahan tanah warga di wilayah pertambangan emas di Kabupaten Bombana.
3. kasus pembunuhan ernawati.
dalam kasus ini kepolisian merekayasa dan memaksa adis (masyarakat) untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. sehingga adis menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun untuk kesalahan yang tak pernah dilakukannya.
4. kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat konsel (bupati konsel)
5. kasus cabul (pelecehan seksual) yang dilakukan mantan kapolda sultra
sampai hari ini mantan kapolda sultra tidak pernah di adili di depan hukum akibat perbuatannya yang kerap melakukan pencabulan terhadap beberapa orang polwan di sultra
6. tewasnya tahanan polsek mandonga.
pada saat penangkapan korban tengah menderita sakit, dan semasa dalam tahanan korban menggunakan kateter sebagai alat bantu. semasa dalam tahanan keluarga dalam pengakuannya telah mengusahakan penangguhan penahanan namun sama sekali tidak di gubris oleh pihak polsek mandonga, bahkan pihak kepolisian menambah masa tahanan polisi. setelah beberapa hari dalam tahanan korban semakin kritis sehingga keluarga berulangkali memohonkan penangguhan penahanan, namun sama dengan upaya semula sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. pada tanggal 21 april di mana kondisi korban sudah semakin kritis dan sudah tidak sadarkan diri, maka korban di larikan di rumah sakit korem untuk mendapatkan perawatan medis. tetapi setelah lima hari tidak sadarkan diri di rumah sakit korem korban kembali kepangkuan yang kuasa. disini jelas ada sebuah pelanggaran hak asasi manusia
7. kasus ipda Ipda Vernensius Hermanto Bowo mantan Kapolsek Poleang Kabupaten Bombana tiga perwira lainnya, Ipda Terry, Ipda Ardi, dan Ipda Febri, terkait penyekapan, penganiayaan dan pengeroyokan terhadap mantan karyawan Kafe De-Vin's bernama Fadli. yang hanya mengalami mutasi
dan masih banyak lagi kasus lainnya yang tidak mampu di selesaikan oleh kepolisian daerah sulawesi tenggara. jika ini terus di biarkan dan tidak menjadi perhatian berbagai pihak maka sedikit lagi kita akan kehilangan hak berdemokrasi. untuk itu perlu kerjasama keseluruhan komponen masyarakat untuk mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT.
dengan menyebarkan tulisan ini anda telah membantu berpartisipasi dalam upaya mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT. dengan demikian anda telah membantu usaha menata demokrasi kita.
" SUDAH SAATNYA MAHASISWA DAN RAKYAT BERSATU PADU "
satu bumi milik bersama tanpa batas dan penindasan
Saat ini kita kembali menemukan kenyataan di lapangan bahwa janji Pemerintah dan Kepolisian untuk melakukan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia masih jauh dari kenyataan, jikalau belum bisa dikatan sebagai sebuah retorik kosong (KEBOHONGAN) demi memupuk citra. Dalih penertiban dan gangguan terhadap keamanan yang digunakan aparat kepolisian dan pemerintah dalam menangani setiap warga Negara yang menyampaikan pendapat (Unjuk Rasa) selalu dijadikan legitimasi untuk merepresi dan menangkap setiap warga negaranya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Cara-cara yang lebih mengedepankan tindakan represif ini mengingatkan kita kembali kepada pola Orde Baru dalam menghadapi setiap perjuagan rakyat yang menuntut hak dasarnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa aparat kepolisian dan aparat Negara lainnya mulai kembali menempatkan dirinya sebagai penjaga stabilisasi kemananan dalam memastikan ekspansi modal dan keberlangsuangan kekuasaan yang korup.
Dalam beberapa kasus kepolisian Sulawesi tenggara semakin mengukuhkan posisinya sebagai alat Negara dan ekspansi modal dalam merepresif mahasiswa dan rakyat.
Pertama,
PT. Arga Morini Indah (AMI) yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Buton seluas 2.000 Ha di Desa Wulu dan 1.234 Ha di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan rakyat. Bagaimana tidak, karena kawasan pertambangan nikel yang dikuasakan kepada PT. AMI adalah sumber pangan warga dan juga satu-satunya sumber air bersih warga talaga. Saat ini, masyarakat tidak bisa lagi berproduksi di atas lahan pertanian dan kebun mereka, karena telah dikuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Alternatif lain yang biasa dilakukan oleh warga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yakni sebagai nelayan dan petambak budidaya juga tidak bisa lagi dilakukan karena lokasi budidaya mereka sudah dipenuhi lumpur-lumpur pertambangan, dan bila hendak menangkap ikan, harus mengayuh sampai 2 mil jauhnya.
Ketidakberdayaan warga talaga menghadapi ekspansi pertambangan PT. AMI dan tindakan represif aparat keamanan yang mendukungnya menghadapkan warga pada pilihan untuk menerima ganti rugi. Ironisnya, ganti rugi pun berlangsung secara tidak adil dan manipulatif. Sebab pihak perusahaan tidak memenuhi kesepakatan ganti rugi yang telah diputuskan bersama. Keputusan bersama menetapkan bahwa ganti rugi tanah sebesar Rp.5.000/m2 dan ganti rugi tanaman sebesar Rp.500.000/pohon, dan kedua-duanya diganti oleh PT. AMI. Tetapi PT. AMI mengingkari kesepakatan tersebut; pertama, besaran ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan, dimana tanah dihargai 2.500/m2. Kedua, warga diminta memilih antara menerima ganti rugi tanaman atau tanah. Bagi warga yang menerima ganri rugi tanah, maka tidak mendapatkan ganti rugi tanaman, begitu juga sebaliknya.
Terhadap ketidakadilan yang terus-menerus berlangsung dan penderitaan yang dialami oleh warga Talaga Raya sejak beroperasinya PT. AMI inilah yang melahirkan proses perlawanan rakyat. Perlawanan warga dilakukan dengan melakukan aksi damai di depan kantor operasional PT.AMI dan berhasil menduduki kantor tersebut. aksi berjalan damai sampai pada akhirnya bentrok tak terhindarkan setelah preman- preman bersenjata yang di sewa PT.AMI datang. aparat memperlihatkan ketidakberpihakan kepada warga yang menuntut haknya, dan lebih memilih untuk melindungi perusahaan dari pada warganya. Aksi damai yang dilakukan oleh warga bersama aktivis pendamping masyarakat pada tanggal 15 Mei 2010, diikuti dengan penangkapan para aktivis pendamping dan warga pada tanggal 17 Mei 2010. Sebanyak 13 orang ditangkap dengan surat perintah penangkapan nomor: SP. Kap/77/V/2010 dengan tuduhan pengrusakan fasilitas milik PT. AMI, kemudian pada tanggal 18 Mei 2010 (malam hari) polisi kembali menangkap warga.
Ke dua,
pada 15 Desember 2010 saat mahasiswa melakukan aksi unjukrasa menyikapi permasalahan pedagang Pasar Baru, telah terjadi penganiayaan beberapa aktivis mahasiswa dan tindakan pengancaman dengan menggunakan pistol ke arah masa aksi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terkait penolakan relokasi pedagang Pasar Baru. perlakuan itu di balas oleh masyarakat dan mahasiswa dengan tindak pengrusakan Pos Polisi di depan Kantor Walikota Kendari.
buntut dari aksi pengrusakan itu terjadi penahanan aktivis mahasiswa serta pedagang dan diproses hukum, tetapi sebaliknya aparat kepolisian yang melakukan tindak penganiayaan dan pengancaman sama sekali tidak tersentuh hukum berbeda dengan mahasiswa dan masyarakat yang harus mendekam di tahanan selama 1 tahun 6 bulan.
ke tiga,
senin (28/3/2011) Tragedi penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara oleh aparat kepolisian pada 27 Maret 2008 silam, kembali disuarakan elemen mahasiswa.
Sebagai bentuk protes atas tragedi itu, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Haluoleo Kendari, berdemonstrasi di Markas Polda Sulawesi Tenggara.
Dipimpin Ketua BEM Fakultas Tekhnik, Abd Rahim, para mahasiswa yang memulai aksinya dari kampus, menggelar aksi konvoi menuju Markas Polda. Saat berorasi didepan Mapolda, Ketua BEM Teknik menyerukan kepada Kapolda Sultra Brigjend Polisi Sigit Sudarmanto untuk mengusut tuntas kasus penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo yang melibatkan anggota kepolisian pada 27 Maret 2008 silam. Tak hanya itu, Kapolda juga dituntut untuk meninjau kembali kinerja aparatnya dan bila perlu menjatuhi sanksi kepada para anggotanya yang menjadi pelaku penyerangan itu tanpa pandang bulu.
Gagal bertemu Kapolda, para mahasiswa kemudian meninggalkan Markas Polda dan melanjutkan aksi di perempatan Jalan Ahmad Yani, didepan Kampus Universitas Terbuka dan PGSD. Mahasiswa kemudian menggelar aksi orasi secara bergantian.
setelah melakukan orasi selama dua jam, mahasiswa meninggalkan menuju kampus teknik unhalu dan sesampainya di kampus massa langsung membubarkan diri dan sebahagian mahasiswa langsung pulang. namun selang setengah jam membubarkan diri, terdengar kabar bahwa tiga orang mahasiswa teknik yang sebelumnya menjadi massa aksi di aniaya oleh oknum yang di duga kuat dari kepolisian. sehingga massa yang telah membubarkan diri mendengar rekannya di aniaya sontak berhamburan dan melakukan pelemparan terhadap pos polisi di depan kampus baru universitas haluoleo. malamnya sekitar pukul 22.00 wita tindak penganiayaan tersebut di laporkan ke polda sultra dan sampai hari ini belum jelas proses hukumnya.
dari kejadian penyerangan pos polisi tersebut, menurut kasat reskrim polres kota kendari pada siaran persnya di berbagai media lokal pihak kepolisian telah melayangkan enam surat panggilan pemeriksaan kepada mahasiswa teknik sebagai saksi ke gedung rektorat universitas haluoleo.
disini mampak jelaslah aparat kepolisian begitu antusias, proaktif dan nampak garang dalam upaya penegakan hukum jika pelaku pelanggaran hukumnya itu adalah mahasiswa dan rakyat biasa. tetapi dalam waktu yang sama kegarangannya bagai macan itu berubah menjadi seperti kucing ompong jika berhadapan dengan penguasa, pemilik modal, elit dan anak pejabat.
beberapa kasus yang sampai saat ini tidak mampu diselesaikan oleh polda sultra :
1. penyerbuan aparat polisi ke Kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari
2. Kasus perampasan lahan (land grabbing) juga terjadi secara sistematis pada masyarakat adat (MA): Kontu di Muna, Sambawa di Konawe Utara, Lipu-Katobengke di Kota Baubau, petani Bungi-Sorawolio yang dijarah hutan dan kekayaan alamnya untuk pertambangan nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di kota Baubau, warga di sekitar Lapangan Terbang Maranggo di Tomia Kabupaten Wakatobi, dan kasus penjarahan tanah warga di wilayah pertambangan emas di Kabupaten Bombana.
3. kasus pembunuhan ernawati.
dalam kasus ini kepolisian merekayasa dan memaksa adis (masyarakat) untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. sehingga adis menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun untuk kesalahan yang tak pernah dilakukannya.
4. kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat konsel (bupati konsel)
5. kasus cabul (pelecehan seksual) yang dilakukan mantan kapolda sultra
sampai hari ini mantan kapolda sultra tidak pernah di adili di depan hukum akibat perbuatannya yang kerap melakukan pencabulan terhadap beberapa orang polwan di sultra
6. tewasnya tahanan polsek mandonga.
pada saat penangkapan korban tengah menderita sakit, dan semasa dalam tahanan korban menggunakan kateter sebagai alat bantu. semasa dalam tahanan keluarga dalam pengakuannya telah mengusahakan penangguhan penahanan namun sama sekali tidak di gubris oleh pihak polsek mandonga, bahkan pihak kepolisian menambah masa tahanan polisi. setelah beberapa hari dalam tahanan korban semakin kritis sehingga keluarga berulangkali memohonkan penangguhan penahanan, namun sama dengan upaya semula sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. pada tanggal 21 april di mana kondisi korban sudah semakin kritis dan sudah tidak sadarkan diri, maka korban di larikan di rumah sakit korem untuk mendapatkan perawatan medis. tetapi setelah lima hari tidak sadarkan diri di rumah sakit korem korban kembali kepangkuan yang kuasa. disini jelas ada sebuah pelanggaran hak asasi manusia
7. kasus ipda Ipda Vernensius Hermanto Bowo mantan Kapolsek Poleang Kabupaten Bombana tiga perwira lainnya, Ipda Terry, Ipda Ardi, dan Ipda Febri, terkait penyekapan, penganiayaan dan pengeroyokan terhadap mantan karyawan Kafe De-Vin's bernama Fadli. yang hanya mengalami mutasi
dan masih banyak lagi kasus lainnya yang tidak mampu di selesaikan oleh kepolisian daerah sulawesi tenggara. jika ini terus di biarkan dan tidak menjadi perhatian berbagai pihak maka sedikit lagi kita akan kehilangan hak berdemokrasi. untuk itu perlu kerjasama keseluruhan komponen masyarakat untuk mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT.
dengan menyebarkan tulisan ini anda telah membantu berpartisipasi dalam upaya mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT. dengan demikian anda telah membantu usaha menata demokrasi kita.
" SUDAH SAATNYA MAHASISWA DAN RAKYAT BERSATU PADU "
satu bumi milik bersama tanpa batas dan penindasan
Komentar
Posting Komentar