THE MIRROR NEVER LIES : WELCOME TO THE ABSOLUTE BEAUTY OF WAKATOBI

Sutradara : Kamila Andini
Produksi : Set Film & WWF Indonesia, 2011


Indonesia itu punya kekayaan alam luarbiasa. Ah, kita sudah sering mendengar itu, tapi sedikit sekali rasanya yang bisa menarik perhatian kita dalam kaitan wisatanya. So, ketika sebuah karya bernama film bisa memaparkan hidden treasure itu dengan sinematografi ala Discovery Channel, atau katakanlah, dokumenter-dokumenter cantik pemenang Eagle Awards dan sejenisnya, kita perlu perhatian lebih ke arah itu. Datang dari riset mendalam yang dilakukan seorang suksesor berbakat dari Garin Nugroho bernama Kamila Andini, yang notabene putri sulungnya sendiri, The Mirror Never Lies adalah sebuah ensiklopedia singkat tentang Wakatobi, kabupaten di Sulawesi Tenggara yang menyimpan segudang keanekaragaman hayati laut dibalik Taman Nasional dan prioritas konservatif sebesar satu sekian juta hektar itu. Suku terbesar disana, yang dinamakan suku bajo, pun punya keunikan mendalam dari akar budaya melayu yang kuat. Pantun seakan mengalir seperti air dari mulut mereka, dengan langgam melayu yang sama rancaknya, itu adalah sebuah realita. Jadi siap-siaplah. Ketika Kamila membesut film ini bersama seorang Ipung Rachmat Syaiful, sinematografer yang punya catatan karir di film-film Joko Anwar, dengan dukungan penuh Sony yang menghadirkan tiga kamera high definition-nya untuk merekam keindahan lanskap sebuah surga bernama Wakatobi, I’d assure you one more time. Ini adalah surga bagi visual Anda.


Premisnya simpel. Diangkat dari pola kehidupan suku Bajo yang memang hidup dari melaut, banyak istri yang ditinggal hilang suami mereka di tengah laut. Itulah yang terjadi pada Tayung (Atiqah Hasiholan), yang memendam kepedihan mendalam hingga kerap menanamkan pada putri satu-satunya, Pakis (Gita Novalista), untuk tak lagi mengingat-ingat sang ayah. Ia selalu memakai bedak putih yang menjadi tradisi atas penyangkalannya. Namun Pakis, punya pengharapan sendiri. Tiap hari ia menunggu kepulangan ayahnya, berbekal sebuah cermin peninggalan yang dibawanya kemana-mana. Bersama sahabatnya, Lumo (Eko), Pakis terus menelusuri eksistensi ayahnya di tengah luasnya laut Wakatobi. Sampai seorang peneliti lumba-lumba, Tudo (Reza Rahadian) kemudian masuk ke kehidupan mereka, konflik Tayung dan Pakis pun semakin meruncing.

Seperti Jermal yang juga bermain-main di kehidupan laut namun tampil sepahit air hitamnya, The Mirror Never Lies membangun filsuf lebih dalam lewat sebuah keindahan visual. Laut yang luarbiasa biru, jernih, dijadikannya senjata untuk membangun sebuah premis penuh pengharapan namun disampaikan dengan pahit. Sebuah sinematografi top notch yang mungkin lebih hebat dari dokumenter-dokumenter wisata pemenang festival. Oke, saya tak akan menampik bahwa sesekali, bahkan lebih, Kamila tampak blur memfokuskan arah kombinasi ini, antara keinginan menggambarkan suku Bajo secara detil termasuk dialek hingga adapt setempatnya, keindahan lanskap laut Wakatobi, dengan pendalaman karakternya. Masa putar panjang itu sebenarnya bisa saja jauh dipersingkat atas cukup banyaknya scene-scene yang tak sepenuhnya memperkuat plot yang disampaikan, mengingat bangunan beberapa konflik yang berpotensi dieksplorasi lebih juga lewat begitu saja, mungkin demi menghindari klise-klise ala film kita untuk terus-terusan berulang. Dan saya jadi sedikit jengah lagi-lagi melihat film seindah dan sekuat ini harus kembali dikacaukan oleh tampilan ‘intip-mengintip’ ala film Indonesia yang kurang relevan dengan penyampaian keseluruhannya. Seperti Jermal yang harus sekali melatarkan ditinggal selingkuh dalam background tokoh utamanya. No wonder, sang ayah, maestro bernama Garin Nugroho memang duduk sebagai produsernya, dan menggambarkan sebuah erotisisme pikiran memang sudah kerap jadi spesialisasi yang diselipkan di film-filmnya yang remarkable sampai ke hati kritikus-kritikus internasional. Namun selain kekuatan sinematografi tadi, ada satu penyelamat lagi yang akhirnya membuat kita bisa betah mengikuti benang merah kisah serta pameran keindahan visualnya, dan kemudian menghilangkan kekurangan-kekurangan kecil tadi. Adalah akting yang sangat membumi dari seluruh pendukungnya, especially di ketiga pemeran sentral anak-anak yang semuanya asli penduduk Wakatobi; pemeran Pakis, Lumo serta Zainal sebagai Kutta yang gemar berpantun dan berlanggam melayu itu. Kepolosan dan kewajaran akting ketiga anak ini yang membuat kita bisa trenyuh hingga begitu tergelitik sampai tertawa keras, bahkan menenggelamkan akting Atiqah Hasiholan yang terlihat bersusah-payah menyelami dialek Bajo yang unik meski terkadang mengucapkannya kelewat hati-hati, serta Reza Rahadian dengan akting santainya yang sayangnya tak dieksplorasi lebih sebagai pemicu konflik. Anyway, satu yang terpenting dari The Mirror Never Lies memang ada di keindahan sinematografinya, dan mari fokus kesana. Ini adalah sebuah film dengan nilai informatif luarbiasa kuatnya, yang memberi pengetahuan luas pada kita sebagai bagian dari keindahan alam sendiri, dan usaha untuk menyampaikan informasi dan misi pariwisata itu sudah seharusnya mendapat apresiasi lebih. Yang jelas, saya jadi tak sabar untuk merasakan sendiri mengayuh sampan nelayan diantara pancang-pancang rumah Bajo di tengah laut Wakatobi itu. Yup, The Mirror Never Lies, dan percayalah, hampir dua jam barusan Anda memang tengah menyaksikan sebuah cermin akan betapa indahnya alam di sekitar kita. They don’t lie, and never will

Komentar

Postingan Populer