Kenapa KPK belum juga memanggil Hatta Radjasa ??
berikut adalah kronologis kasus tersebut :
Korupsi hibah kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang terjadi di thn 2006. Korupsi ini terjadi di lingkungan Dephub. Kasus ini berawal ketika pemerintah Indonesia mendapatkan hibah berupa 60 unit KRL bekas dari perusahaan swasta Jepang. Sebanyak 60 unit KRL dari hibah thn 2006 terdiri dari 30 unit milik Tokyo Metro dan 30 unit milik Toyo Rapid Railway. Inti Kasus pada Hibah KA ini adalah penggelembungan biaya pengiriman KRL, hibah dari Jepang ke Indonesia yang rugikan negara Rp 11 miliar. Sumino Eko Saputro, mantan Dirjen Perkeretaapian Dephub ketika itu, tahun 2006, pada 4 November 2009 ditetapkan sebagai tersangka Hibah KA. Sumino juga telah Dicekal pada 10 Desember 2009 oleh Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian dengan surat IMI.5.GR.02.06-3.20648 .
Ade Raharja dari KPK, mengatakan dugaan markup Hibah KA muncul pada biaya angkut dan administrasi KRL, sehingga merugikan negara. Menurut catatan KPK, nilai pengadaan hibah KA adalah Rp 48 M, sedang kerugian negara dari markup yg dilakukan ditaksir mencapai Rp 11 M. Pengadaan KRL hibah sudah menjadi agenda Dephub dengan dicantumkannya alokasi pengadaan KRL dalam DIPA tahun 2006. Menindaklanjuti DIPA, maka pada tahun 2006 Menhub Hatta Radjasa memerintahkan Sumino ke Jepang guna melakukan survey. Selanjutnya diagendakanlah kepergian Sumino ke Jepang dengan maksud untk survey pengadaan KRL bekas dr jepang.
Berdasarkan kesaksian Sumino, Hatta Radjasa memanggil Sumino sblm brgkt ke JPN dlm suatu pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, Hatta turut mengundang empat orang menurut Sumino adalah pihak swasta yangg ingin mengoperasikan KRL di Indonesia. Dari pertemuan tersebutb, pak Soemino mendapat perintah untuk pergi ke Jepang bersama ke-empat orang tersebut. Sumino pun menuruti perintah Hatta dan pergi ke Jepang dengan orang titipan (swasta) yang ditemuinya di ruangan Menhub. Sesampainya di Jepang, Sumino pun melakukan survey untuk pengadaan KRL bekas di Dephub sebagai Dirjen Perkeretaapian.
Dari survey pengadaan KRL bekas yg dilakukan, Sumino juga mendapat informasi tentang KRL yang bisa dihibahkan ke Indonesia. Ternyata saat ini tidak ada lagi Hibah KA Jepang dari pemerintah ke pemerintah, karena kereta di Jepang dioperasikan swasta. Sumino pun bertemu dengan Japan Railway Trans.Service. Disampaikan bahwa KRL yg hendak dihibahkan ternyata tidak gratis. Maksud dari Hibah yang tidak gratis adalah bahwa penerima Hibah KA tetap harus menanggung biaya angkut dan administrasi.
Sepulangnya ke Indonesia, hasil kunjungan dan survey dilaporkan Sumino ke Menhub, bahwa hibah KA hanya Gratis Unit KRLnya. Hasil survey Sumino itu ditindaklanjuti oleh Satker di Dephub yang bertugas melakukan pengadaan KRL bekas. Japan Railway menyarankan ke Panitia Pengadaan agar HibahKA dilakukan melalui Sumitomo, perusahaan swasta jepang. Dalam perjanjian hibah KA antara pemerintah Indonesia dgn Railway Jepang, pihak penerima hanya cukup menanggung ongkos kirim.
Pelaksanaan Hibah KA ini dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan Sarana Kereta Api dengan menunjuk Sumitomo Corp tanpa tender. Dengan penunjukan langsung, perusahaan Jepang, Sumitomo, mendapat proyek pengiriman 60 unit KRL bekas tersebut ke Indonesia. Nilai proyek pengiriman mencapai Rp 48 M. Menjadi temuan setelah dibandingkan dengan nilai pengadaan KRL dari Jepang pada tahun 2004. Data yg dijadikan data pembanding oleh KPK adalah 2 proyek pengadaan KRL yg dilakukan Dephub pada tahun 2004 dan 2005.
Pada tahun 2004, Dephub melalui PT.KA membeli 16 unit KRL dari Itocu Corp. 8 juta yen/unit, include biaya angkut dan transaksi. Tahun 2005, Dephub melalui PT.KA kembali membeli 16 unit KRL seri 8000 pada Tokyo Corporation dengan harga 8jt yen/unit. Jika dirupiahkan, Harga 8 Jt Yen pada tahun 2004 adalah sekitar Rp.696.000.000. dan pada tahun 2005, 8 Jt Yen adalah Rp.664.000.000.
Pada 30 Nov 2006 ditandatangani kontrak pengangkutan 60 unit kereta tipe 5000 milik Tokyo Metro dan tipe 1000 milik Tokyo Rapid. Kontrak tersebut menyebutkan nilai per unitnya 9,9 jt yen, termasuk biaya angkut dan asuransinya. Sedangkan Harga KRL per unit termasuk biaya angkut dan administrasi pada tahun 2004/2005 adalah 8jt Yen. Selisih 1,9jt Yen dengan 2006. Padahal menurut hasil survey yg dilaporkan Sumino kepada Menhub, KRL tsb gratis. Pemerintah bukan membeli KRL bekas.
Pengadaan KRL yg harusnya hanya menanggung biaya angkut & administrasi, malah dipatok 125% dari harga KRL bekas thn 2004 & 2005. Selain itu pada 30 November 2006 kurs 1 Yen JPN, asumsi kurs tengah adalah Rp.80,80. Devaluasi ini bs menjadi catatan khusus. Devaluasi Yen di tahun 2006 harusnya tidak menimbulkan kenaikan tarif transport KRL dari Jepang ke Indonesia. Dengan kata lain, belanja Dephub dalam pengadaan KRL tahun 2006 adalah 9,9 jt Yen x 60 unit = 594 jt yen = 48M (kurs 1 Yen=Rp.80,8). Sedangkan Menurut KPK, Markup yang dilakukan Dephub adalah 11 M, dengan perkiraan per unit dimarkup 2.2 jtYen=Rp.183,3 jt/unit x 60 unit =11M. Yang masih samar dalam penyidikan markup Hibah KA ini adalah kenapa Biaya Angkut saja bisa capai 125% dari harga pengadaan KRL bekas. Jika ternyata KRL yang dibeli pemerintah adalah barang gratis, maka markup sangat-sangat besar jumlahnya.
Merujuk pada kesaksian Sumino, pemerintah harusnya bisa membayar dibawah 8jt Yen/unit. Hibah KA. Kedudukan harga 9,9 jt yen ini lah yg harusnya didalami oleh penyidik. Agar semakin jelas apa yang terjadi dibalik kasus hibah KA. Disamping itu, penunjukan langsung PT.Sumitomo sebagao perusahaan yang mendeliver KRL ke Indonesia, juga layak menjadi temuan.
Merujuk pada Kepres 80 tahun 2003, pengadaan diatas 100jt harus dilakukan melalui mekanisme tender. Bukan penunjukan langsung. Bagaimana mungkin harga angkut dan asuransi, bisa jauh lebih mahal ketimbang harga beli KRL bekas di thn 2004 dan 2005. 16 unit KRL bekas yang dibeli tahun 2005 seharga 8 jt yen/unit,ternyata lebih baru dari KRL hibah tahun 2006 dengan harga 9,9jt yen/unit. Unit KRL yang dibeli PT.KA tahun 2004 adalah produksi 1963-1983. Sedangkan KRL hibah Dephub tahun 2006, adalah produksi 1964-1981.
Demikian Silahkan mengkoreksi data penggelembungan biaya pengiriman kereta bantuan hibah dari Jepang ke Indonesia ini.
GAHMI ( Gerakan Alumni HMI)
Korupsi hibah kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang terjadi di thn 2006. Korupsi ini terjadi di lingkungan Dephub. Kasus ini berawal ketika pemerintah Indonesia mendapatkan hibah berupa 60 unit KRL bekas dari perusahaan swasta Jepang. Sebanyak 60 unit KRL dari hibah thn 2006 terdiri dari 30 unit milik Tokyo Metro dan 30 unit milik Toyo Rapid Railway. Inti Kasus pada Hibah KA ini adalah penggelembungan biaya pengiriman KRL, hibah dari Jepang ke Indonesia yang rugikan negara Rp 11 miliar. Sumino Eko Saputro, mantan Dirjen Perkeretaapian Dephub ketika itu, tahun 2006, pada 4 November 2009 ditetapkan sebagai tersangka Hibah KA. Sumino juga telah Dicekal pada 10 Desember 2009 oleh Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian dengan surat IMI.5.GR.02.06-3.20648 .
Ade Raharja dari KPK, mengatakan dugaan markup Hibah KA muncul pada biaya angkut dan administrasi KRL, sehingga merugikan negara. Menurut catatan KPK, nilai pengadaan hibah KA adalah Rp 48 M, sedang kerugian negara dari markup yg dilakukan ditaksir mencapai Rp 11 M. Pengadaan KRL hibah sudah menjadi agenda Dephub dengan dicantumkannya alokasi pengadaan KRL dalam DIPA tahun 2006. Menindaklanjuti DIPA, maka pada tahun 2006 Menhub Hatta Radjasa memerintahkan Sumino ke Jepang guna melakukan survey. Selanjutnya diagendakanlah kepergian Sumino ke Jepang dengan maksud untk survey pengadaan KRL bekas dr jepang.
Berdasarkan kesaksian Sumino, Hatta Radjasa memanggil Sumino sblm brgkt ke JPN dlm suatu pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, Hatta turut mengundang empat orang menurut Sumino adalah pihak swasta yangg ingin mengoperasikan KRL di Indonesia. Dari pertemuan tersebutb, pak Soemino mendapat perintah untuk pergi ke Jepang bersama ke-empat orang tersebut. Sumino pun menuruti perintah Hatta dan pergi ke Jepang dengan orang titipan (swasta) yang ditemuinya di ruangan Menhub. Sesampainya di Jepang, Sumino pun melakukan survey untuk pengadaan KRL bekas di Dephub sebagai Dirjen Perkeretaapian.
Dari survey pengadaan KRL bekas yg dilakukan, Sumino juga mendapat informasi tentang KRL yang bisa dihibahkan ke Indonesia. Ternyata saat ini tidak ada lagi Hibah KA Jepang dari pemerintah ke pemerintah, karena kereta di Jepang dioperasikan swasta. Sumino pun bertemu dengan Japan Railway Trans.Service. Disampaikan bahwa KRL yg hendak dihibahkan ternyata tidak gratis. Maksud dari Hibah yang tidak gratis adalah bahwa penerima Hibah KA tetap harus menanggung biaya angkut dan administrasi.
Sepulangnya ke Indonesia, hasil kunjungan dan survey dilaporkan Sumino ke Menhub, bahwa hibah KA hanya Gratis Unit KRLnya. Hasil survey Sumino itu ditindaklanjuti oleh Satker di Dephub yang bertugas melakukan pengadaan KRL bekas. Japan Railway menyarankan ke Panitia Pengadaan agar HibahKA dilakukan melalui Sumitomo, perusahaan swasta jepang. Dalam perjanjian hibah KA antara pemerintah Indonesia dgn Railway Jepang, pihak penerima hanya cukup menanggung ongkos kirim.
Pelaksanaan Hibah KA ini dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan Sarana Kereta Api dengan menunjuk Sumitomo Corp tanpa tender. Dengan penunjukan langsung, perusahaan Jepang, Sumitomo, mendapat proyek pengiriman 60 unit KRL bekas tersebut ke Indonesia. Nilai proyek pengiriman mencapai Rp 48 M. Menjadi temuan setelah dibandingkan dengan nilai pengadaan KRL dari Jepang pada tahun 2004. Data yg dijadikan data pembanding oleh KPK adalah 2 proyek pengadaan KRL yg dilakukan Dephub pada tahun 2004 dan 2005.
Pada tahun 2004, Dephub melalui PT.KA membeli 16 unit KRL dari Itocu Corp. 8 juta yen/unit, include biaya angkut dan transaksi. Tahun 2005, Dephub melalui PT.KA kembali membeli 16 unit KRL seri 8000 pada Tokyo Corporation dengan harga 8jt yen/unit. Jika dirupiahkan, Harga 8 Jt Yen pada tahun 2004 adalah sekitar Rp.696.000.000. dan pada tahun 2005, 8 Jt Yen adalah Rp.664.000.000.
Pada 30 Nov 2006 ditandatangani kontrak pengangkutan 60 unit kereta tipe 5000 milik Tokyo Metro dan tipe 1000 milik Tokyo Rapid. Kontrak tersebut menyebutkan nilai per unitnya 9,9 jt yen, termasuk biaya angkut dan asuransinya. Sedangkan Harga KRL per unit termasuk biaya angkut dan administrasi pada tahun 2004/2005 adalah 8jt Yen. Selisih 1,9jt Yen dengan 2006. Padahal menurut hasil survey yg dilaporkan Sumino kepada Menhub, KRL tsb gratis. Pemerintah bukan membeli KRL bekas.
Pengadaan KRL yg harusnya hanya menanggung biaya angkut & administrasi, malah dipatok 125% dari harga KRL bekas thn 2004 & 2005. Selain itu pada 30 November 2006 kurs 1 Yen JPN, asumsi kurs tengah adalah Rp.80,80. Devaluasi ini bs menjadi catatan khusus. Devaluasi Yen di tahun 2006 harusnya tidak menimbulkan kenaikan tarif transport KRL dari Jepang ke Indonesia. Dengan kata lain, belanja Dephub dalam pengadaan KRL tahun 2006 adalah 9,9 jt Yen x 60 unit = 594 jt yen = 48M (kurs 1 Yen=Rp.80,8). Sedangkan Menurut KPK, Markup yang dilakukan Dephub adalah 11 M, dengan perkiraan per unit dimarkup 2.2 jtYen=Rp.183,3 jt/unit x 60 unit =11M. Yang masih samar dalam penyidikan markup Hibah KA ini adalah kenapa Biaya Angkut saja bisa capai 125% dari harga pengadaan KRL bekas. Jika ternyata KRL yang dibeli pemerintah adalah barang gratis, maka markup sangat-sangat besar jumlahnya.
Merujuk pada kesaksian Sumino, pemerintah harusnya bisa membayar dibawah 8jt Yen/unit. Hibah KA. Kedudukan harga 9,9 jt yen ini lah yg harusnya didalami oleh penyidik. Agar semakin jelas apa yang terjadi dibalik kasus hibah KA. Disamping itu, penunjukan langsung PT.Sumitomo sebagao perusahaan yang mendeliver KRL ke Indonesia, juga layak menjadi temuan.
Merujuk pada Kepres 80 tahun 2003, pengadaan diatas 100jt harus dilakukan melalui mekanisme tender. Bukan penunjukan langsung. Bagaimana mungkin harga angkut dan asuransi, bisa jauh lebih mahal ketimbang harga beli KRL bekas di thn 2004 dan 2005. 16 unit KRL bekas yang dibeli tahun 2005 seharga 8 jt yen/unit,ternyata lebih baru dari KRL hibah tahun 2006 dengan harga 9,9jt yen/unit. Unit KRL yang dibeli PT.KA tahun 2004 adalah produksi 1963-1983. Sedangkan KRL hibah Dephub tahun 2006, adalah produksi 1964-1981.
Demikian Silahkan mengkoreksi data penggelembungan biaya pengiriman kereta bantuan hibah dari Jepang ke Indonesia ini.
GAHMI ( Gerakan Alumni HMI)
Komentar
Posting Komentar