Kualitas Elite Politik Rendah
OLEH: SIGIT WIBOWO
Jakarta-Kualitas elite politik yang ada saat ini rendah. Akibatnya, berbagai persoalan bangsa yang muncul diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Kondisi ini diperparah dengan pendidikan di Indonesia yang menanamkan kebencian agama dan intoleransi kepada anak didiknya. Sejak awal, anak sekolah tidak diberikan kesadaran menghargai pemeluk agama lain sehingga menganggap pemeluk agama di luar kelompoknya salah.
"Ada masalah dalam pendidikan di Indonesia yang tidak mengajarkan toleransi mayoritas kepada minoritas," kata Tokoh NU, Djohan Effendi, di Jakarta, Senin (28/2). Akibatnya, sejak awal dalam pikiran dibentuk pemahaman di luar kelompok mayoritas dianggap musuh. Hal ini menyebabkan benih-benih permusuhan agama ditanamkan satu sama lain.
Ia menyatakan, hal ini berbeda dengan kondisi Indonesia pascakemerdekaan yang penuh toleransi terhadap perbedaan. "Saya contohkan, meskipun berbeda ideologi, mereka saling menghargai satu sama lain. Ketua Comite Central PKI, DN Aidit, bisa duduk minum kopi bersama dengan Ketua Masyumi, Isa Anshari, tanpa ada permusuhan," katanya. Kondisi tersebut muncul karena perbedaan saat itu diselesaikan dengan otak, bukan dengan otot seperti pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sosiolog Tamrin Amal Tomagola menilai elite politik yang saat ini berkuasa kebanyakan berkualitas rendah dan bukan manusia pilihan seperti masa kemerdekaan. Presiden, menteri, dan anggota DPR kebanyakan terpilih karena uang sehingga mengedepankan transaksional. Kekerasan atas nama agama dibiarkan berlarut-larut karena aparat penegak hukum baru mau bertindak jika ada dana operasional.
Ia menyatakan, permasalahan di Indonesia muncul karena elite politik dan agama dicampuradukkan satu sama lain. "Agama seperti partai politik. Pemuka agama selalu risau dengan jumlah pengikut, banyak tempat ibadat yang dibangun dan jumlah uang yang dikumpulkan dari umatnya," katanya.
Direktur The Wahid Institute, Yenny Zanuba Wahid, menilai perilaku intoleran semakin menjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah dinilai melakukan pembiaran tindak kekerasan atas nama agama. "Jika ada organisasi massa mengatasnamakan Islam melakukan kekerasan dibiarkan seolah-olah mereka menyuarakan umat. Padahal, mayoritas umat Islam di Indonesia cinta damai dan menolak kekerasan atas nama agama," paparnya. Ia mengkritik berbagai tindak intoleransi yang saat ini makin mengkawatirkan. "Saya contohkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Ini tidak bisa dibenarkan. Saya merasa nggak bisa dibenarkan melakukan pelarangan," kata Yenny.
Ia khawatir langkah serupa akan ditiru oleh daerah lain. "Pelarangan Ahamadiyah bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya kita kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, yang jelas memastikan semua orang boleh berkeyakinan, artinya negara nggak bisa mengintervensi akidah," tandasnya.
Ia menyarankan pemerintah memfasilitasi pertemuan antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka, lalu mencari jalan keluar bersama-sama. Pemerintah harus melakukan dialog antara pihak-pihak yang berseberangan dan bukan berdiri pada satu kelompok.
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/berita/content_96/read/kualitas-elite-politik-rendah/
Jakarta-Kualitas elite politik yang ada saat ini rendah. Akibatnya, berbagai persoalan bangsa yang muncul diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Kondisi ini diperparah dengan pendidikan di Indonesia yang menanamkan kebencian agama dan intoleransi kepada anak didiknya. Sejak awal, anak sekolah tidak diberikan kesadaran menghargai pemeluk agama lain sehingga menganggap pemeluk agama di luar kelompoknya salah.
"Ada masalah dalam pendidikan di Indonesia yang tidak mengajarkan toleransi mayoritas kepada minoritas," kata Tokoh NU, Djohan Effendi, di Jakarta, Senin (28/2). Akibatnya, sejak awal dalam pikiran dibentuk pemahaman di luar kelompok mayoritas dianggap musuh. Hal ini menyebabkan benih-benih permusuhan agama ditanamkan satu sama lain.
Ia menyatakan, hal ini berbeda dengan kondisi Indonesia pascakemerdekaan yang penuh toleransi terhadap perbedaan. "Saya contohkan, meskipun berbeda ideologi, mereka saling menghargai satu sama lain. Ketua Comite Central PKI, DN Aidit, bisa duduk minum kopi bersama dengan Ketua Masyumi, Isa Anshari, tanpa ada permusuhan," katanya. Kondisi tersebut muncul karena perbedaan saat itu diselesaikan dengan otak, bukan dengan otot seperti pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sosiolog Tamrin Amal Tomagola menilai elite politik yang saat ini berkuasa kebanyakan berkualitas rendah dan bukan manusia pilihan seperti masa kemerdekaan. Presiden, menteri, dan anggota DPR kebanyakan terpilih karena uang sehingga mengedepankan transaksional. Kekerasan atas nama agama dibiarkan berlarut-larut karena aparat penegak hukum baru mau bertindak jika ada dana operasional.
Ia menyatakan, permasalahan di Indonesia muncul karena elite politik dan agama dicampuradukkan satu sama lain. "Agama seperti partai politik. Pemuka agama selalu risau dengan jumlah pengikut, banyak tempat ibadat yang dibangun dan jumlah uang yang dikumpulkan dari umatnya," katanya.
Direktur The Wahid Institute, Yenny Zanuba Wahid, menilai perilaku intoleran semakin menjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah dinilai melakukan pembiaran tindak kekerasan atas nama agama. "Jika ada organisasi massa mengatasnamakan Islam melakukan kekerasan dibiarkan seolah-olah mereka menyuarakan umat. Padahal, mayoritas umat Islam di Indonesia cinta damai dan menolak kekerasan atas nama agama," paparnya. Ia mengkritik berbagai tindak intoleransi yang saat ini makin mengkawatirkan. "Saya contohkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Ini tidak bisa dibenarkan. Saya merasa nggak bisa dibenarkan melakukan pelarangan," kata Yenny.
Ia khawatir langkah serupa akan ditiru oleh daerah lain. "Pelarangan Ahamadiyah bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya kita kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, yang jelas memastikan semua orang boleh berkeyakinan, artinya negara nggak bisa mengintervensi akidah," tandasnya.
Ia menyarankan pemerintah memfasilitasi pertemuan antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka, lalu mencari jalan keluar bersama-sama. Pemerintah harus melakukan dialog antara pihak-pihak yang berseberangan dan bukan berdiri pada satu kelompok.
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/berita/content_96/read/kualitas-elite-politik-rendah/
Komentar
Posting Komentar