Batas Usia Anak Dapat Dipidana Naik
Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
"Menyatakan frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 tahun,” tutur Ketua MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis (24/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.
“Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva melanjutkan. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1) dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.
Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian. Namun, pasal itu merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.
Lagipula dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita (melebihi apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu kesatuan sistem. Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal lain yang tidak diuji.
“Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan agar tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.” Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.
Dissenting
Salah satu Hakim Konstitusi M Akil Mochtar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Akil berpendapat seharusnya Pasal 1 angka 2 huruf b UU Pengadilan Anak sepanjang frasa “…maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat..” juga bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, tidak adil jika seorang anak Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana, sementara tindakannya itu tidak diatur secara rinci, jelas, pasti, dan cermat dalam undang-undang.
Hal itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap semua anak Indonesia yang melanggar asas legalitas yang dijamin Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sebab, peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, ketentuan yang tidak jelas ukurannya. Seharusnya, definisi anak nakal hanya merujuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Bukankan tujuan asas legalitas untuk melindungi setiap orang (anak) dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum atas tindakan hukum tanpa menyebutkan peristiwa pidana yang dillanggar?” sergah Akil.
Untuk diketahui, KPAI dan Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak Medan menguji Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Anak. Pasal 22 dan 23 yang mengatur jenis pidana penjara bagi anak, pemohon meminta agar kedua pasal itu dihapuskan. Sebab, pemenjaraan bagi anak dinilai tidak tepat.
Khusus Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), KPAI mempersoalkan batas usia anak yang dapat dipidana. Kedua pasal itu menyebutkan batas usia anak yang dapat dipidana adalah 8 tahun. KPAI meminta agar dua pasal ini diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK. Syarat yang diajukan adalah sepanjang proses penyidikan anak sudah menjamin perlindungan hak-hak anak.
Sumber : Hukum Online
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
"Menyatakan frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 tahun,” tutur Ketua MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis (24/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.
“Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva melanjutkan. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1) dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.
Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian. Namun, pasal itu merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.
Lagipula dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita (melebihi apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu kesatuan sistem. Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal lain yang tidak diuji.
“Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan agar tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.” Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.
Dissenting
Salah satu Hakim Konstitusi M Akil Mochtar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Akil berpendapat seharusnya Pasal 1 angka 2 huruf b UU Pengadilan Anak sepanjang frasa “…maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat..” juga bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, tidak adil jika seorang anak Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana, sementara tindakannya itu tidak diatur secara rinci, jelas, pasti, dan cermat dalam undang-undang.
Hal itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap semua anak Indonesia yang melanggar asas legalitas yang dijamin Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sebab, peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, ketentuan yang tidak jelas ukurannya. Seharusnya, definisi anak nakal hanya merujuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Bukankan tujuan asas legalitas untuk melindungi setiap orang (anak) dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum atas tindakan hukum tanpa menyebutkan peristiwa pidana yang dillanggar?” sergah Akil.
Untuk diketahui, KPAI dan Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak Medan menguji Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Anak. Pasal 22 dan 23 yang mengatur jenis pidana penjara bagi anak, pemohon meminta agar kedua pasal itu dihapuskan. Sebab, pemenjaraan bagi anak dinilai tidak tepat.
Khusus Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), KPAI mempersoalkan batas usia anak yang dapat dipidana. Kedua pasal itu menyebutkan batas usia anak yang dapat dipidana adalah 8 tahun. KPAI meminta agar dua pasal ini diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK. Syarat yang diajukan adalah sepanjang proses penyidikan anak sudah menjamin perlindungan hak-hak anak.
Sumber : Hukum Online
Komentar
Posting Komentar