Indonesia Rawan Pangan ???


Di tengah hiruk pikuk kasus Gayus Tambunan atau curhat gaji presiden, ada ancaman besar di depan mata yang kurang mendapat perhatian. Rakyat Indonesia terancam mengalami krisis pangan. Badan Pangan Dunia (FAO) telah memperingatkan tahun 2011 ini akan terjadi krisis pangan dunia. Peringatan sudah disampaikan pada 2010 lalu. Sejak Desember 2010, harga pangan dunia telah melonjak bahkan telah mencapai rekor tertinggi indeks harga pangan FAO. Pada akhir tahun lalu, indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, biji-bijian, minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.
Meski sudah mendapatkan peringatan tahun lalu, Indonesia seperti biasanya tidak siap menghadapinya. Memasuki awal tahun 2011, warga kita langsung dihajar harga kebutuhan pangan yang terus melambung. Harga beras terus naik, harga cabai mencapai posisi yang tidak masuk akal, Rp 100 ribu per kilogram. Kebutuhan pokok lainya pun ikut terkerek naik. Di Jakarta, dengan uang Rp 30 ribu di tangan, seorang ibu rumah tangga kesulitan memenuhi gizi keluarganya.
Padahal jumlah orang miskin di Indonesia, seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa mencapai 31,02 juta penduduk atau 13,5 persen. Jumlah ini kata Hatta turun dari tahun lalu. Tapi tetap saja angka itu masih sangat besar. Terlebih lagi ada data lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ada 70 juta penduduk yang menerima beras miskin (raskin). Soal angka kemiskinan ini menjadi polemik soal kebohongan pemerintah SBY yang hingga kini belum usai.
Namun yang jelas kemiskinan selalu identik dengan rawan pangan. Maka dengan angka kemiskinan yang tinggi, angka rawan pangan pun tinggi. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional, angka rawan pangan Indonesia tercatat 27,5 persen. Maka tidak aneh bila dengan mudah ditemukan data keluarga kurang gizi sampai kurang pangan.
Di Jepara, Jawa Tengah, lima bersaudara meninggal karena keracunan tiwul. Keluarga itu mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras lagi yang harganya semakin mahal. Balita kurang gizi pun bisa ditemui di banyak tempat. Di Lebak, Banten, misalnya, dua anak kembar, Abdurahman dan Abdurrahim, kurus kering dengan perut buncit. Si kembar empat tahun itu pun bisu dan tuli. Di desa si kembar itu, masih banyak balita lainnya yang mengalami nasib yang sama. Bahkan di sejumlah daerah lainnya, Cirebon dan Kebumen misalnya, ada warga yang memilih bunuh diri karena miskin.

Bagaimana pemerintah menghadapi ancaman krisis pangan yang sudah memakan korban warganya ini? Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan dunia tidak akan sampai melanda Indonesia. Katanya persediaan pangan kita masih bisa terjamin. Tapi kalau stok masih terjamin, mengapa Bulog akan melakukan impor 1,5 juta ton beras? Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan negara kita masih sulit melepas ketergantungannya akan beras impor. Beras impor itu untuk menjaga stok cadangan beras nasional. Stok cadangan beras nasional ini sangat penting. Cadangan ini berfungsi untuk keperluan darurat seperti bencana alam, perang dan konflik sosial, serta untuk keperluan stabilisasi harga.

Tapi yang menyedihkan, dua negara yang menjadi sumber impor beras Indonesia yakni Thailand dan Vietnam akan menahan ekspornya. Kedua negara itu, di tengah ancaman krisis pangan dunia, tentu saja memilih mengamankan perut rakyatnya sendiri dibandingkan mengekspornya untuk negara lain.
Indonesia tentu dalam posisi bahaya. Indonesia tidak bisa lagi tergantung pada impor beras. Sementara surplus produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Ibaratnya, kondisi Indonesia seperti menggantungkan perut pada negara lain. Bila negara lain sudah tidak bisa digantungi lagi, maka Indonesia akan kelabakan sendiri.

Kini rawan pangan sudah mencapai 27,5 persen penduduk kita. Bila tidak serius mengantisipasi rawan pangan ini, siap-siap saja terjadi krisis pangan nasional tidak lama lagi. Siap-siap saja, makin banyak balita kurang gizi, makin banyak orang meninggal karena mengkonsumsi makanan tidak layak dan makin banyak orang bunuh diri karena miskin. Siap-siap saja...
Ibu-ibu kini banyak yang mengeluhkan mahalnya kebutuhan pokok. Dengan uang Rp 30 ribu nyaris tidak dapat membeli apa-apa. Ibu yang bertugas mengatur kebutuhan keluarga kebingungan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Mereka tidak berdaya menghadapi hajaran kenaikan harga.

Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2010 telah telah memperingatkan tentang akan terjadinya krisis pangan dunia yang akan dimulai tahun 2011. Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan tidak akan sampai terjadi melanda Indonesia. Katanya, ketersediaan pangan di negeri kita masih cukup. Namun faktanya, memasuki awal tahun 2011, harga kebutuhan pangan langsung melambung. Dengan harga yang melambung, masyarakat pun kesulitan untuk menjangkaunya. Meskipun pangan tersedia, masyarakat tidak mampu untuk membelinya. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat 27,5 persen penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Kondisi rawan pangan secara otomatis akan diikuti dengan masalah kesehatan.

Kasus kelaparan di berbagai daerah semakin memperburuk daftar panjang kasus kemiskinan di negeri ini. Sayangnya, peringatan ini menurut Romo Benny tidak dibaca dengan baik. Kelaparan, gizi buruk, penyakit polio, busung lapar, dan seterusnya adalah pertanda agar bangsa ini bisa dan mau menyadari adanya polaritas yang amat tajam antara elite yang kaya raya dan rakyat jelata.
Indonesia mengalami bahaya kelaparan? Max Havelaar dalam bukunya 'Multatuli' tahun 1860, yang menceritakan kemiskinan dan kelaparan di Nusantara. "Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan, ibu-ibu memakan anaknya sendiri," begitu kata Max Havelaar.
Jangan sampai fiksi Max Havelar menjadi kenyataan!

Komentar

Postingan Populer