Hukum Waris : Pengaturan dan Pengertian Hukum Waris
Hukum Waris di Indonesia memiliki dua aturan sistem yang berbeda antara hukum perdata konvensional, hukum Islam, maupun hukum adat. Disamping terdapat perbedaan, undang-undang juga telah mengatur bahwa hukum waris ini merupakan sebuah kompetensi absolut. Artinya bahwa bagi orang Islam diharuskan membagi warisan secara hukum Islam, dan jika terjadi permasalahan maka akan diselesaikan di Pengadilan Agama. Demikian juga sebaliknya bagi orang Indonesia diluar yang beragama Islam, berlakulah hukum Perdata yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan jika terjadi perselisihan maka akan diselesaikan di Pengadilan negeri. Untuk itu dalam pembahasan hukum waris akan dipisahkan antara hukum waris yang terdapat dalam KUHPerdata dan hukum waris Islam yang ada dalam Hukum Islam.
Warisan merupakan salah satu cara yang limitative ditentukan untuk meperoleh hak milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok dari benda maka hukum waris diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang benda yang lain.
Dalam Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan pemilikan, karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat.
Mengenai pengertian Hukum Waris ini, terdapat berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar ahli hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain:
Menurut Mr. B. Ter Haar; Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari turunan ke turunan.[1]
Menurut Mr. A. Pitlo; Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[2]
E.M. Mayers, menyebutkan bahwa intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud; perpindahan kekayaan pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga[3]
Menurut Subekti, S.H.; Hukum warisan itu mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain[4]
Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H.; Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.[5]
Menurut Prof. Soedirnan Kartohadiprodjo, S.H. Hukum waris adalah semua kaidah hukum yang mengatur bagaimanakah nasib kekayaan seorang yang meninggal dunia, dan siapa-siapakah yang berhak atas kekayaan itu.[6]
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hakhak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu la meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.[7]
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi terhadap harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Dengan demikian, Hukum Waris pada hakekatnya, mengatur mengenai tata-cara peralihan harta kekayaan dari seorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada para ahli warisnya.
Kekayaan (vermogen) adalah semua hak-hak dan kewajiban yang dipunyai orang, yang mempunyai nilai uang, artinya bahwa: Hukum waris sebenarnya merupakan bagian dari hukum kekayaan.
Bahwa hak-hak dan kewajiban yang tidak mempunyai nilai uang, seperti hak dan kewajiban tertentu yang berasal dari hubungan kekeluargaan tidak dapat diwariskan seperti hak maritaal (maritale macht), hak wali atas orang yang ditaruh dibawah perwaliannya, kewajiban pengampuan (curator)
Perikatan-perikatan yang walaupun mempunyai hukum kekayaan (vermogensrechtlijke verbintenissen) tetapi tidak berasal dari hukum keluarga, tidak termasuk warisan
Hubungan-hubungan hukum tertentu yang walaupun memiliki nilai ekonomis dan karenanya bersifat kekayaan tetapi sangat pribadi tidak termasuk dalam hak dan kewajiban yang dapat diwariskan, contohnya hubungan kerja[8]
Oleh sebab itu ada dua unsur utama yang harus ada dalam pewarisan yaitu harus terjadi terhadap harta kekayaan yang mempunyai nilai uang dan berasal dari hubungan kekeluargaan.
Di dalam Hukum Waris, dikenal beberapa istilah yang sering dipergunakan, yaitu:
Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya sipewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.
Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua utangnya.
B. Pengaturan Hukum Waris di Indonesia
Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada pun tidak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk hukum waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Adanya hukum waris di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda. Adapun berikut penjelasannya:
1. Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
2. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan:
Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, dan paman.
3. Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:
Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya; Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya; Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas; dan Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.
Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.
Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
Sumber :
1 B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan hukum Adat, ter. K. Ng Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradya Paramita, 1994, hal. 202
2. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, terj. M. Isa Arief, Jakarta: Intermasa, 1994, hal. 1
3. E.M. Mayers, hal. 1; H.F.A. Vollmar, hal. 284; Jac Kalma, Privaatrecht handleiding by de studie van het Nederlands Privaatrecht”, cet. 3, hal. 79
4. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1987. hal.
5. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramitha, 1993, hal. 79
6.Soedirman Kartohadibroto, Masalah Hukum Sehari-hari, Yogyakarta: Hien Hoo Sing, 1964, hal. 8
7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1976 , hal. 8
8. J. Satrio, Hukum Waris, cet II, Alumni, Bandung, 1992, hal. 9-10
BalasHapusNama: sarfin.b
Nim: G1 18 026
P
BalasHapusNama : Rahmat
BalasHapusNim : G1 18 014
Nama : Ermanda
BalasHapusNim : G1 18 011
Nama : Ermanda
BalasHapusG1 18 011
Sarfin.b
BalasHapusG118026
Nama:Haidir
BalasHapusNim:G1 18 018
Imran nim G118020
BalasHapus