Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik


Kesehatan merupakan salah satu modal untuk berlangsungnya kehidupan manusia. Produktivitas dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan orang tersebut. Kesehatan memberikan pengaruh dalam semua sektor kehidupan. Sebagai contoh dalam suatu kegiatan ekonomi jika seorang pegawai pabrik rokok dalam kondisi kesehatan yang baik, maka dia akan dapat memberikan hasil sebanyak 500 linting rokok, namun jika dalam kondisi kesehatan yang tidak baik, maka produktivitas orang tersebut akan menurun. Demikian juga dalam sektor pendidikan seseorang dengan kondisi kesehatan yang baik dapat menerima pelajaran jauh lebih baik, daripada dia berada dalam kondisi sakit. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kesehatan memberikan pengaruh yang besar sekaligus penunjang dalam sektor-sektor kehidupan manusia.

Kesehatan yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau dari kesehatan fisik semata. Kesehatan seseorang bersifat menyeluruh, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan seseorang. Hal tersebut di atas dapat kita lihat pada Undang-undang Dasar 1945 amandemen Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.

Bunyi pasal tersebut di atas dapat kita ambil pengertian, bahwa kesejahteraan merupakan salah satu dari hak asasi manusia, yang mana mencakup pula hak seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Upaya dalam memperoleh pelayanan kesehatan bertujuan untuk mendapatkan kualitas kesehatan yang baik dan layak, di mana semakin tingginya kualitas kesehatan seseorang, maka semakin mendekati pada tingkat kesejahteraan yang layak.


Hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan yang mempunyai kedudukan khusus. Yaitu Dokter sebagai Health Provider (pihak yang memberikan pelayanan kesehatan) dan pasien sebagai Health Receiver (pihak yang menerima pelayanan kesehatan). Relasi antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual. Hubungan tersebut dimulai sejak dokter menyatakan kesediaannya baik secara lisan (oral statement) atau secara tersirat (implied statement) yang menunjukkan sikap atau tindakan yang menunjukkan kesediaan dokter. Sikap atau tindakan yang dapat menyimpulkan kesediaan seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam mediknya dan sebagainya. Hubungan kontraktual antara dokter dan pasien dinamakan kontrak terapeutik.

Kontrak terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak pihak yang terikat didalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata, tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Bentuk prestasi yang harus diberikan oleh dokter tergantung dari jenis-jenis perikatan yang disepakati, yaitu inspanning-verbintenis atau resultans-verbintenis, jika sebelumnya tidak ditentukan secara khusus, maka yang akan berlaku adalah jenis perikatan yang lazim, yaitu inspanning-verbintenis di mana dokter hanya dituntut untuk memberikan prestasinya berupa upaya medik yang layak berdasarkan teori kedokteran
yang teruji kebenarannya.

Inspanning Verbintenis, dokter tidak diwajibkan memberikan atau menciptakan sesuatu hasil seperti yang diinginkan pasien atau keluarganya, mengingat hasil dari suatu upaya medik tidak dapat diperhitungkan secara matematik (uncertainty), karena dipengaruhi banyak faktor yang berada di luar kontrol atau jangkauan dokter, seperti misalnya daya tahan tubuh, virulensi penyakit, kondisi fisik, kepatuhan pasien serta kualitas obat. Jika pasien tidak sembuh maka dokter tidak dapat digugat sepanjang upaya medik yang telah dilakukan sudah benar atau sesuai standar.

Sejak zaman Priestly Medicirie, dunia kedokteran sebenarnya sudah memiliki model hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan paternalistik (kekeluargaan) atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti itu memiliki keunggulan komperatif dibandingkan model hubungan yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum semata.

Namun demikian jika terjadi konflik antara penyedia jasa layanan medik (health care provider) dan penerimanya (health care receiver), maka model hubungan tadi mempunyai kelemahan karena konsep penyelesaiannya kurang jelas, tidak memiliki kekuatan guna memaksakan keputusannya.

Penyelesaian konflik antara dokter dan pasien melalui lembaga yang disusun oleh organisasi profesi, lebih banyak menekankan pada upaya menjaga kehormatan profesi daripada memperjuangkan nasib pasien dan keluarganya, padahal yang diperlukan mereka adalah penyelesaian yang adil atas penderitaan yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dokter, dalam bentuk pertanggungjawaban yang dapat meringankan pasien. Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga profesi tersebut adalah pemeriksaan terhadap pelanggaran kode etik kedokteran saja. Keputusan dari lembaga profesi tersebut terhadap dokter yang bermasalah, sering dicurigai masyarakat sebagai keputusan yang memihak.

Fakta di dalam masyarakat adalah sulitnya untuk menentukan benar atau belumnya upaya medik yang diambil oleh dokter. Penilaian untuk melihat kesalahan dalam pengambilan tindakan medic atau kesalahan dalam diagnosis tidak dapat diketahui oleh pasien, karena ketidaktahuan mengenai tindakan medik dan profesi kedokteran. Oleh karena itu sering terjadi salah penilaian oleh masyarakat, di mana dokter dianggap telah melakukan kesalahan medik dan harus mempertanggung jawabkan, tetapi dokter dapat lepas dari tanggung jawab tersebut. Hal tersebut memperlihatkan timpangnya kedudukan antara dokter dan pasien serta kesewenang-wenangan dokter.

Undang-undang Kesehatan merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai bagaimana upaya kesehatan dijalankan. Dalam Undang-undang Kesehatan diatur mengenai bagaimana kedudukan antara dokter atau tenga kesehatan dan pasien. Dalam kedudukannya pasien mempunyai hak-hak khusus, di mana hak-hak tersebut merupakan titik tolak dalam pemberian pelayanan kesehatan. Hak-hak pasien yang tertulis dalam Pasal 53 ayat (2) wajib dihormati dan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.

Hak-hak tersebut antara lain:
1. Hak atas informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat kedua

Hak-hak tersebut di atas merupakan satu kesatuan. Namun secara khusus hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan merupakan hak yang tertuang dalam Informed Consent dan Informed Refusal. Dalam pelaksanaan pengambilan tindakan medik, tenaga kesehatan harus terlebih dahulu memberikan informasi secara lengkap
kepada pasien mengenai hasil observasi, diagnosa dan tindakan yang akan diambil dokter dan pasien dapat memberikan persetujuan setelah diterimanya informasi tersebut dan menentukan dilaksanakan atau tidak tindakan medik pada dirinya.

Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik terdiri atas Informed Consent, yaitu dalam hal pasien menerima dan Informed refusal, dalam hal pasien menolak tindakan medik. Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik pada dasarnya, merupakan perjanjian antara dokter dan pasien, yang mana tertuang dalam bentuk persetujuan pasien atas tindakan medik atau penolakan pasien atas tindakan medik yang akan diambil pada dirinya, di mana sebelumnya dokter telah menginformasikan mengenai beberapa hal tentang tindakan medik yang akan diambilnya beserta akibatnya.

Di dalam mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa: Sejak permulaan sejarah tersurat mengenai umat manusia sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam Jaman modern hubungan ini disebut hubungan teraupetik antara dokter dan pasien, yang dilakukan dalam suasana saling mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran mahluk insani.

Istilah transaksi teraupetik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata, tetapi masuk dalam kategori perjanjian lain, sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya (Bab I buku III KUH Perdata) dan pada peraturan umum mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian (Bab II buku III KUH Perdata). Dengan demikian, untuk sahnya transaksi traupetik, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.

Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang sehingga di dalam menentukan dasar hukum transaksi teraupetik tidak terlepas dari kedua sumber perikatan tersebut karena pada hakekatnya transaksi teraupetik itu sendiri jelas merupakan sebuah perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik. Kedua sumber perikatan tersebut tidak usah dipertentangkan tetapi cukup dibedakan, karena sesungguhnya keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi teraupetik.

Apabila transaksi teraupetik itu dikategorikan sebagai perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata, maka transaksi teraupetik termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan, adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu, jika dilihat cirri yang dimilikinya yaitu pemberian pertolongan, yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1345 KUH Perdata, maka transaksi teraupetik merupakan perjanjian sui generic.


Perjanjian sui generis merupakan perjanjian yang memiliki sifat sendiri, di mana tidak dapat dimasukkan dalam uraian umum, rumusan atau susunan golongan dari: hukum, perjanjian Pada umumnya, perjanjian atau kontrak telah diterima sebagai sumber dari hubungan antara dokter dan pasien, sehingga transaksi teraupetik disebut pula dengan istilah perjanjian atau kontrak teraupetik.

Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kepekaan terhadap martabat manusia, maka dilakukan penataan hubungan antar manusia dengan lebih baik, termasuk hubungan yang timbul dari transaksi teraupetik. Pelaksanaan transaksi teraupetik harus dikaitkan atau bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk mendapatkan informasi. Didasarkan pada kedua hak tersebut, maka dalam menentukan tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap pasien harus ada persetujuan yang didasarkan informasi (informed consent). Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa informed consent lahir sebagai suatu syarat di dalam transaksi teraupetik.

Transaksi teraupetik, merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan sikap saling percaya. Sikap saling percaya itu tumbuh apabila terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, karena masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi terlaksananya kerja sama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi teraupetik tersebut.


Latar belakang dari timbulnya Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik di mana dalam hukum Inggris (Common Law) telah lama dikenal hak perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya. Bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain yang menyentuhnya tanpa hak, yang mana disebut Battery, yaitu kejahatan atau perbuatan melawa hukum yang menggunakan kekerasan atau paksaan terhadap orang lain.

Persetujuan dalam pelayanan medik pertama timbul di negeri Inggris abad ke XVIII, yaitu pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak orang lain. Dalam kasus termaksud, pengadilan memutuskan ahli bedah bertangguna jawab
atas Battery. Dengan demikian jika tidak terdapat persetujuan atau hak lain untuk suatu prosedur medik maka pengadilan modern masih memutuskan dokter yang bertanggung jawab atas Battery. Selain itu, terdapat kasus yang melibatkan situasi di mana persetujuan pasien untuk suatu keputusan. Penentuan bahwa dokter mempunyai suatu tugas hukum untuk memberi informasi yang cukup kepada pasien. Dalam peraturan yang lama, informasi yang tidak cukup dan salah mengakibatkan persetujuan tidak berlaku dan dokter tidak bertanggung jawab untuk Battery. Akan tetapi saat ini, suatu prosedur medik yang dilaksanakan tanpa informasi yang memadai merupakan suatu kesalahan yang terpisah yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan kelalaian atau kealpaan.

Kasus dibawah ini dapat menjelaskan teori di atas, kasus terebut adalah Nyonya Natanson melawan dr. Kline , tahun 1960. Nyonya natanson menuntut dokternya, karena tidak memperoleh peretujuannya untuk dilakukan terapi kobalt sesudah mastektomi. Ia menderita luka-luka bakar parah akibat radiasi menuntut dokter radiology yaitu dr. Kline. Tuntutan tersebut atas dasar kelalaian dari pelaksanaan metode baru tersebut dan juga karena tidak memberitahukan terlebih dahulu tentang sifat dan bahayanya terapi radiasi tersebut. Dokter Kline telah mengakui, bahwa walaupun nyonya Natanson telah memberikan persetujuannya, tetapi kepadanya tidak
diberikan penjelasan yang cukup tentang resiko yang melekat pada prosedur tersebut.

Keputusan dari pengadilan pada waktu itu adalah seorang dokter berkewajiban untuk:
“mengungkapkan dan menjelaskan sesederhana mungkin tentang sifat tindakan yang diusulkan, kemungkinan berhasilnya atau cara alternatif lainnya, dan adanya kemungkinan resiko hasilnya negative yang disebabkan oleh keadaaan di dalam tubuh yang tidak dapat diketahui sebelumnya”.

Dari hal tersebut di atas maka secara prinsip dapat dikatakan bahwa setiap manusia berhak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan menjadi:

1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. Informasi yang dipahami oleh pasien, artinya informasi itu disampaikan dalam “bahasa” pasien, bukan dengan “bahasa” atau
istilah kedokteran.
2. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara lisan atau tertulis, secara tegas (eksplisit) atau tersirat (implisit).

Jadi pada hekekatnya Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik adalah upaya untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindak medik yang tak disetujui atau diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat tak terduga dan bersifat negatif.

Bahwa dalam Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik dirumuskan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yaitu pasien yang menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir persetujuan itu ditandatangani oleh kedua belah pihak. Maka karena itu merupakan persetujuan dua belah pihak yang saling mengikat, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Hal tersebut di atas memenuhi unsur perjanjian yaitu Pasal 1338 KUH Perdata di mana disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa ditemukan dan disetujui pihak lain. Persetujuan baru dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak atau dianggap cukup oleh undang-undang.

Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai bentuk sebagai perjanjian baku karena pihak-pihak yang telah berepakat ditentukan dalam suatu bentuk tertentu yaitu formulir. Isi dan bentuk perjanjian telah ditentukan sebelumnya, selain itu Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik juga memenuhi ciri dari perjanjian baku yaitu : pasien tidak turut menentukan isi perjanjian, formulir telah ada dalam bentuk tertulis dan dicetak dalam jumlah yang banyak.

Prosedur tetap dalam pengambilan tindakan medik yang bersifat tetap dan mengikat adalah adanya persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medik. Penerimaan dari pasien tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan pengambilan tindakan medik (informed consent) dan penolakan pengambilan tindakan medik (informed refusal). Penerimaan dan penolakan pasien atas tindakan medik yang akan diambil pada dirinya merupakan salah satu dari beberapa hak pokok pasien yang mana harus dihormati oleh dokter dan tenaga medik lainnya.

Jaminan kepastian dari hak pokok pasien diatur di dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) yang mana menyebutkan hak-hak pasien antara lain:
1. Hak atas informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat kedua
Hak-hak pasien tersebut di atas wajib dihormati oleh dokter dan tenaga medikk. Hal tersebut ditegaskan pula dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yaitu pada Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) yang berbunyi:

Ayat (3) “Tenaga Kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.”

Ayat (4) “Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”

Pasal tersebut di atas merupakan jaminan terhadap diperlakukannya pasien sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya, oleh sebab itu dokter dan tenaga medik tidak diperkenankan untuk membujuk, menyarankan atau menasehati pasien demi kepentingan dokter agar memberikan persetujuan tindakan kepada pasien baik tindakan dilakukannya perawatan atau pun pengobatan. Pasien memiliki “otonomi moral” yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk ahli medik.

Hak pasien atas informasi tentang sakit pasien dan persetujuan atas tindakan medik terangkum dalam penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik. Bentuk penerimaan pasien tertuang dalam persetujuan pengambilan tindakan medik atau yang dikenal dengan informed consent. Sedangkan bentuk penolakan dari pasien dikenal dengan penolakan pengambilan tindakan medik (Informed Refusal) Persetujuan pengambilan tindakan medik itu sendiri terbagi atas dua jenis yaitu dalam bentuk pernyataan (expressed) yang meliputi pernyataan secara lisan (oral) dan pernyataan secara tertulis (written). Bentuk yang lain adalah bentuk tersirat implied atau tacit consent) bentuk ini memiliki dua jenis yaitu dalam keadaan biasa (normal) dan dalam keadaan darurat (emergency).

Penyampaian informasi merupakan fase yang penting sebagai salah satu prosedur dalam penerimaan ataupun penolakan pengambilan tindakan medik. Dokter atau tenaga medik tidak bisa memaksa untuk pasien menerima tindakan medik tersebut. Namun demikian bagaimana prosedur yang harus ditempuh dokter apabila pasien menolak padahal dalam kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa pasien. Ketika pasien menolak dokter haruslah berusaha untuk menjelaskan sekali lagi tentang akibat dan resiko yang harus ditanggung pasien, apabila setelah dijelaskan pasien tetap menolak maka pasien harus menandatangani pernyataan penolakan.

penolakan yang diberikan haruslah secara tertulis dan tidak bisa dalam bentuk lisan (Implied), hal tersebut disebabkan karena beban pembuktian terletak pada pihak yang menyatakan sesuatu dan hal ini menjadi beban dokter maka jalan pembuktian yang mudah yang dapat diberikanoleh dokternya adalah pernyataan penolakan dari pasiennya. Ketika pasien menolak secara lisan atau tidak mau menandatangani maka dokter berkewajiban untuk mencatatkan dalam rekam medik pasien yang bersangkutan dengan catatan menolak menandatangani pernyataan penolakan pengambilan tindakan medik.

Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai arti penting yang sama. Karena keduanya merupakan bentuk pernyataan pasien yang mana memilki landasan hukum dan beban pembuktian yang kuat. Untuk penolakan maka terdapat prosedur pencatatan dokumentasi yang meliputi:
a. Catat penjelasan yang diberikan dokter tentang risiko dan keuntungan dari tindakan medik tersebut,
b. Catat penjelasan tentang risiko yang bisa timbul jika ditundatunda,
c. Catat penolakan pasien/ keluarganya dan pertanyaanpertanyaan yang diajukan olehnya,
d. Catat jawaban-jawaban yang diberikan oleh dokter dan pengulangan penjelasan risiko yang mungkin terjadi,
e. Catat dasar alasan pasien menolak tindakan medik tersebut,
f. Catat keputusan akhir dari pasien dan respons final dari dokter.
g. Bubuhi tanggal, jam dan tempatnya (misalnya: ruang perawatan, IGD, ICU dan sebagainya).
h. Catat juga nama saksi-saksinya.

Tidak diberikannya informasi oleh dokter dalam pengambilan tindakan medik kepada pasien dapat dikenakan suatu tuntutan yaitu penuntutan atas informasi yang kurang (lack of informed consent). Persetujuan pengambilan tindakan medik juga bermanfaat sebagai alat kontrol (self control) kinerja dokter.

Referensi : 

Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Semarang; Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung;PT. Citra Aditya Bakti, 2002

Komentar

Postingan Populer