Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik
Kesehatan
merupakan salah satu modal untuk berlangsungnya kehidupan manusia.
Produktivitas dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan orang
tersebut. Kesehatan memberikan pengaruh dalam semua sektor kehidupan. Sebagai
contoh dalam suatu kegiatan ekonomi jika seorang pegawai pabrik rokok dalam
kondisi kesehatan yang baik, maka dia akan dapat memberikan hasil sebanyak 500
linting rokok, namun jika dalam kondisi kesehatan yang tidak baik, maka
produktivitas orang tersebut akan menurun. Demikian juga dalam sektor
pendidikan seseorang dengan kondisi kesehatan yang baik dapat menerima
pelajaran jauh lebih baik, daripada dia berada dalam kondisi sakit.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kesehatan memberikan pengaruh yang
besar sekaligus penunjang dalam sektor-sektor kehidupan manusia.
Kesehatan
yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau dari kesehatan fisik semata.
Kesehatan seseorang bersifat menyeluruh, yaitu kesehatan jasmani dan rohani.
Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan
seseorang. Hal tersebut di atas dapat kita lihat pada Undang-undang Dasar 1945
amandemen Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.
Bunyi
pasal tersebut di atas dapat kita ambil pengertian, bahwa kesejahteraan
merupakan salah satu dari hak asasi manusia, yang mana mencakup pula hak seseorang
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Upaya dalam memperoleh pelayanan
kesehatan bertujuan untuk mendapatkan kualitas kesehatan yang baik dan layak,
di mana semakin tingginya kualitas kesehatan seseorang, maka semakin mendekati
pada tingkat kesejahteraan yang layak.
Hubungan
antara dokter dan pasien merupakan hubungan yang mempunyai kedudukan khusus.
Yaitu Dokter sebagai Health Provider (pihak yang memberikan pelayanan
kesehatan) dan pasien sebagai Health Receiver (pihak yang menerima pelayanan
kesehatan). Relasi antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan
kontraktual. Hubungan tersebut dimulai sejak dokter menyatakan kesediaannya
baik secara lisan (oral
statement) atau secara tersirat (implied statement) yang menunjukkan sikap atau tindakan
yang menunjukkan kesediaan dokter. Sikap atau tindakan yang dapat menyimpulkan
kesediaan seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut,
menyediakan serta mencatat rekam mediknya dan sebagainya. Hubungan kontraktual
antara dokter dan pasien dinamakan kontrak terapeutik.
Kontrak
terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak pihak yang terikat
didalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan
sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata, tentang perikatan yang lahir
karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan
kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Bentuk
prestasi yang harus diberikan oleh dokter tergantung dari jenis-jenis perikatan
yang disepakati, yaitu inspanning-verbintenis
atau
resultans-verbintenis, jika
sebelumnya tidak ditentukan secara khusus, maka yang akan berlaku adalah jenis
perikatan yang lazim, yaitu inspanning-verbintenis
di
mana dokter hanya dituntut untuk memberikan prestasinya berupa upaya medik yang
layak berdasarkan teori kedokteran
yang
teruji kebenarannya.
Inspanning Verbintenis,
dokter tidak diwajibkan memberikan atau menciptakan sesuatu hasil seperti yang
diinginkan pasien atau keluarganya, mengingat hasil dari suatu upaya medik
tidak dapat diperhitungkan secara matematik (uncertainty), karena dipengaruhi banyak
faktor yang berada di luar kontrol atau jangkauan dokter, seperti misalnya daya
tahan tubuh, virulensi penyakit, kondisi fisik, kepatuhan pasien serta kualitas
obat. Jika pasien tidak sembuh maka dokter tidak dapat digugat sepanjang upaya
medik yang telah dilakukan sudah benar atau sesuai standar.
Sejak
zaman Priestly Medicirie, dunia kedokteran sebenarnya sudah memiliki model
hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan paternalistik
(kekeluargaan) atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti itu memiliki
keunggulan komperatif dibandingkan model hubungan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum semata.
Namun
demikian jika terjadi konflik antara penyedia jasa layanan medik (health care provider) dan
penerimanya (health
care receiver), maka model hubungan tadi mempunyai kelemahan
karena konsep penyelesaiannya kurang jelas, tidak memiliki kekuatan guna
memaksakan keputusannya.
Penyelesaian
konflik antara dokter dan pasien melalui lembaga yang disusun oleh organisasi
profesi, lebih banyak menekankan pada upaya menjaga kehormatan profesi daripada
memperjuangkan nasib pasien dan keluarganya, padahal yang diperlukan mereka
adalah penyelesaian yang adil atas penderitaan yang terjadi akibat kesalahan
dan kelalaian dokter, dalam bentuk pertanggungjawaban yang dapat meringankan
pasien. Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga profesi tersebut adalah
pemeriksaan terhadap pelanggaran kode etik kedokteran saja. Keputusan dari
lembaga profesi tersebut terhadap dokter yang bermasalah, sering dicurigai
masyarakat sebagai keputusan yang memihak.
Fakta
di dalam masyarakat adalah sulitnya untuk menentukan benar atau belumnya upaya
medik yang diambil oleh dokter. Penilaian untuk melihat kesalahan dalam
pengambilan tindakan medic atau kesalahan dalam diagnosis tidak dapat diketahui
oleh pasien, karena ketidaktahuan mengenai tindakan medik dan profesi
kedokteran. Oleh karena
itu sering terjadi salah penilaian oleh masyarakat, di mana dokter dianggap
telah melakukan kesalahan medik dan harus mempertanggung jawabkan, tetapi
dokter dapat lepas dari tanggung jawab tersebut. Hal tersebut memperlihatkan
timpangnya kedudukan antara dokter dan pasien serta kesewenang-wenangan dokter.
Undang-undang
Kesehatan merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai bagaimana upaya
kesehatan dijalankan. Dalam Undang-undang Kesehatan diatur mengenai bagaimana
kedudukan antara dokter atau tenga kesehatan dan pasien. Dalam kedudukannya pasien
mempunyai hak-hak khusus, di mana hak-hak tersebut merupakan titik tolak dalam
pemberian pelayanan kesehatan. Hak-hak pasien yang tertulis dalam Pasal 53 ayat
(2) wajib dihormati dan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.
Hak-hak
tersebut antara lain:
1.
Hak atas informasi
2.
Hak untuk memberikan persetujuan
3.
Hak atas rahasia kedokteran
4.
Hak atas pendapat kedua
Hak-hak
tersebut di atas merupakan satu kesatuan. Namun secara khusus hak atas
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan merupakan hak yang tertuang
dalam Informed Consent dan Informed Refusal. Dalam pelaksanaan pengambilan
tindakan medik, tenaga kesehatan harus terlebih dahulu memberikan informasi
secara lengkap
kepada
pasien mengenai hasil observasi, diagnosa dan tindakan yang akan diambil dokter
dan pasien dapat memberikan persetujuan setelah diterimanya informasi tersebut
dan menentukan dilaksanakan atau tidak tindakan medik pada dirinya.
Penerimaan
dan penolakan pengambilan tindakan medik terdiri atas Informed Consent,
yaitu dalam hal pasien menerima dan Informed refusal, dalam hal pasien menolak
tindakan medik. Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik pada dasarnya,
merupakan perjanjian antara dokter dan pasien, yang mana tertuang dalam bentuk
persetujuan pasien atas tindakan medik atau penolakan pasien atas tindakan
medik yang akan diambil pada dirinya, di mana sebelumnya dokter telah
menginformasikan mengenai beberapa hal tentang tindakan medik yang akan
diambilnya beserta akibatnya.
Di
dalam mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa: Sejak
permulaan sejarah tersurat mengenai umat manusia sudah dikenal hubungan
kepercayaan antara dua insan, yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam Jaman
modern hubungan ini disebut hubungan teraupetik antara dokter dan pasien, yang dilakukan
dalam suasana saling mempercayai serta senantiasa diliputi oleh segala emosi,
harapan dan kekhawatiran mahluk insani.
Istilah
transaksi teraupetik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata, tetapi masuk dalam
kategori perjanjian lain, sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 1319 KUH
Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus,
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
umum mengenai
perikatan pada umumnya (Bab I buku III KUH Perdata) dan pada peraturan umum
mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian (Bab II buku III KUH
Perdata). Dengan demikian, untuk sahnya transaksi traupetik, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan akibat
yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas
pokok hukum perjanjian.
Suatu
perikatan bisa timbul baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang
sehingga di dalam menentukan dasar hukum transaksi teraupetik tidak terlepas
dari kedua sumber perikatan tersebut karena pada hakekatnya transaksi
teraupetik itu sendiri jelas merupakan sebuah perikatan, yaitu hubungan hukum
yang terjadi antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik. Kedua sumber
perikatan tersebut tidak usah dipertentangkan tetapi cukup dibedakan, karena
sesungguhnya keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis
hubungan hukum yang timbul dari transaksi teraupetik.
Apabila
transaksi teraupetik itu dikategorikan sebagai perjanjian untuk melakukan suatu
pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH
Perdata, maka transaksi teraupetik termasuk jenis perjanjian untuk melakukan
jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan,
adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu, jika
dilihat cirri yang dimilikinya yaitu pemberian pertolongan, yang dapat
dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (zaakwaarneming) yang diatur
dalam Pasal 1345 KUH Perdata, maka transaksi teraupetik merupakan perjanjian sui generic.
Perjanjian
sui generis merupakan
perjanjian yang memiliki sifat sendiri, di mana tidak dapat dimasukkan dalam
uraian umum, rumusan atau susunan golongan dari: hukum, perjanjian Pada
umumnya, perjanjian atau kontrak telah diterima sebagai sumber dari hubungan
antara dokter dan pasien, sehingga transaksi teraupetik disebut pula dengan
istilah perjanjian atau kontrak teraupetik.
Akan
tetapi dengan semakin meningkatnya kepekaan terhadap martabat manusia, maka
dilakukan penataan hubungan antar manusia dengan lebih baik, termasuk hubungan
yang timbul dari transaksi teraupetik. Pelaksanaan transaksi teraupetik harus
dikaitkan atau bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan
nasib sendiri, dan hak untuk mendapatkan informasi. Didasarkan pada kedua hak tersebut,
maka dalam menentukan tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
harus ada persetujuan yang didasarkan informasi (informed consent). Dari
penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa informed consent lahir
sebagai suatu syarat di dalam transaksi teraupetik.
Transaksi
teraupetik, merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan
diri didasarkan sikap saling percaya. Sikap saling percaya itu tumbuh apabila
terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, karena
masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan
bagi terlaksananya kerja sama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi
teraupetik tersebut.
Latar
belakang dari timbulnya Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik di
mana dalam hukum Inggris (Common Law) telah lama dikenal hak perorangan untuk
bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya. Bahaya yang disengaja atau
serangan dari orang lain yang menyentuhnya tanpa hak, yang mana disebut Battery,
yaitu kejahatan atau perbuatan melawa hukum yang menggunakan kekerasan atau
paksaan terhadap orang lain.
Persetujuan
dalam pelayanan medik pertama timbul di negeri Inggris abad ke XVIII, yaitu
pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak orang
lain. Dalam kasus termaksud, pengadilan memutuskan ahli bedah bertangguna jawab
atas
Battery. Dengan demikian jika tidak terdapat persetujuan atau hak lain untuk
suatu prosedur medik maka pengadilan modern masih memutuskan dokter yang
bertanggung jawab atas Battery. Selain itu, terdapat kasus yang melibatkan
situasi di mana persetujuan pasien untuk suatu keputusan. Penentuan bahwa dokter
mempunyai suatu tugas hukum untuk memberi informasi yang cukup kepada pasien.
Dalam peraturan yang lama, informasi yang tidak cukup dan salah mengakibatkan
persetujuan tidak berlaku dan dokter tidak bertanggung jawab untuk Battery.
Akan tetapi saat ini, suatu prosedur medik yang dilaksanakan tanpa informasi
yang memadai merupakan suatu kesalahan yang terpisah yang dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan kelalaian atau kealpaan.
Kasus
dibawah ini dapat menjelaskan teori di atas, kasus terebut adalah Nyonya
Natanson melawan dr. Kline , tahun 1960. Nyonya natanson menuntut dokternya,
karena tidak memperoleh peretujuannya untuk dilakukan terapi kobalt sesudah
mastektomi. Ia menderita luka-luka bakar parah akibat radiasi menuntut dokter radiology
yaitu dr. Kline. Tuntutan tersebut atas dasar kelalaian dari pelaksanaan metode
baru tersebut dan juga karena tidak memberitahukan terlebih dahulu tentang
sifat dan bahayanya terapi radiasi tersebut. Dokter Kline telah mengakui, bahwa
walaupun nyonya Natanson telah memberikan persetujuannya, tetapi kepadanya
tidak
diberikan
penjelasan yang cukup tentang resiko yang melekat pada prosedur tersebut.
Keputusan
dari pengadilan pada waktu itu adalah seorang dokter berkewajiban untuk:
“mengungkapkan dan menjelaskan sesederhana
mungkin tentang sifat tindakan yang diusulkan, kemungkinan berhasilnya atau
cara alternatif lainnya, dan adanya kemungkinan resiko hasilnya negative yang
disebabkan oleh keadaaan di dalam tubuh yang tidak dapat diketahui sebelumnya”.
Dari
hal tersebut di atas maka secara prinsip dapat dikatakan bahwa setiap manusia
berhak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan menjadi:
1.
Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil
keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. Informasi yang dipahami oleh
pasien, artinya informasi itu disampaikan dalam “bahasa” pasien, bukan dengan
“bahasa” atau
istilah
kedokteran.
2.
Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara
lisan atau tertulis, secara tegas (eksplisit) atau tersirat (implisit).
Jadi
pada hekekatnya Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik adalah
upaya untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindak medik yang tak
disetujui atau diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter
(secara hukum) terhadap kemungkinan akibat tak terduga dan bersifat negatif.
Bahwa
dalam Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik dirumuskan pernyataan
kehendak dari kedua belah pihak yaitu pasien yang menyatakan setuju atas
tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir persetujuan itu ditandatangani
oleh kedua belah pihak. Maka karena itu merupakan persetujuan dua belah pihak
yang saling mengikat, dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak tanpa
persetujuan pihak yang lain. Hal tersebut di atas memenuhi unsur perjanjian
yaitu Pasal 1338 KUH Perdata di mana disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa ditemukan dan disetujui pihak lain.
Persetujuan baru dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak atau dianggap
cukup oleh undang-undang.
Penerimaan
dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai bentuk sebagai perjanjian
baku karena pihak-pihak yang telah berepakat ditentukan dalam suatu bentuk
tertentu yaitu formulir. Isi dan bentuk perjanjian telah ditentukan sebelumnya,
selain itu Penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik juga memenuhi
ciri dari perjanjian baku yaitu : pasien tidak turut menentukan isi perjanjian,
formulir telah ada dalam bentuk tertulis dan dicetak dalam jumlah yang banyak.
Prosedur
tetap dalam pengambilan tindakan medik yang bersifat tetap dan mengikat adalah
adanya persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medik. Penerimaan dari
pasien tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan pengambilan tindakan medik (informed consent) dan penolakan
pengambilan tindakan medik (informed
refusal). Penerimaan dan penolakan pasien atas tindakan medik yang
akan diambil pada dirinya
merupakan salah satu dari beberapa hak pokok pasien yang mana harus dihormati
oleh dokter dan tenaga medik lainnya.
Jaminan
kepastian dari hak pokok pasien diatur di dalam Undang-undang nomor 23 tahun
1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) yang mana menyebutkan hak-hak pasien
antara lain:
1.
Hak atas informasi
2.
Hak untuk memberikan persetujuan
3.
Hak atas rahasia kedokteran
4.
Hak atas pendapat kedua
Hak-hak
pasien tersebut di atas wajib dihormati oleh dokter dan tenaga medikk. Hal
tersebut ditegaskan pula dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yaitu pada Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) yang berbunyi:
Ayat
(3) “Tenaga Kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien.”
Ayat
(4) “Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”
Pasal
tersebut di atas merupakan jaminan terhadap diperlakukannya pasien sesuai
dengan hak-hak yang dimilikinya, oleh sebab itu dokter dan tenaga medik tidak
diperkenankan untuk membujuk, menyarankan atau menasehati pasien demi
kepentingan dokter agar memberikan persetujuan tindakan kepada pasien baik
tindakan dilakukannya perawatan atau pun pengobatan. Pasien memiliki “otonomi moral”
yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri yang tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun termasuk ahli medik.
Hak
pasien atas informasi tentang sakit pasien dan persetujuan atas tindakan medik
terangkum dalam penerimaan dan penolakan pengambilan tindakan medik. Bentuk
penerimaan pasien tertuang dalam persetujuan pengambilan tindakan medik atau
yang dikenal dengan informed
consent. Sedangkan bentuk penolakan dari pasien dikenal dengan
penolakan pengambilan tindakan medik (Informed Refusal) Persetujuan pengambilan
tindakan medik itu sendiri terbagi atas dua jenis yaitu dalam bentuk pernyataan
(expressed) yang
meliputi pernyataan secara lisan (oral) dan pernyataan secara tertulis (written). Bentuk
yang lain adalah bentuk tersirat implied atau tacit consent) bentuk ini memiliki dua
jenis yaitu dalam keadaan biasa (normal) dan dalam keadaan darurat (emergency).
Penyampaian
informasi merupakan fase yang penting sebagai salah satu prosedur dalam
penerimaan ataupun penolakan pengambilan tindakan medik. Dokter atau tenaga
medik tidak bisa memaksa untuk pasien menerima tindakan medik tersebut. Namun
demikian bagaimana prosedur yang harus ditempuh dokter apabila pasien menolak
padahal dalam kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa pasien. Ketika pasien
menolak dokter haruslah berusaha untuk menjelaskan sekali lagi tentang akibat
dan resiko yang harus ditanggung pasien, apabila setelah dijelaskan pasien
tetap menolak maka pasien harus menandatangani pernyataan penolakan.
penolakan
yang diberikan haruslah secara tertulis dan tidak bisa dalam bentuk lisan
(Implied), hal tersebut disebabkan karena beban pembuktian terletak pada pihak
yang menyatakan sesuatu dan hal ini menjadi beban dokter maka jalan pembuktian
yang mudah yang dapat diberikanoleh dokternya adalah pernyataan penolakan dari
pasiennya. Ketika pasien menolak secara lisan atau tidak mau menandatangani
maka dokter berkewajiban untuk mencatatkan dalam rekam medik pasien yang
bersangkutan dengan catatan menolak menandatangani pernyataan penolakan
pengambilan tindakan medik.
Penerimaan
dan penolakan pengambilan tindakan medic mempunyai arti penting yang sama.
Karena keduanya merupakan bentuk pernyataan pasien yang mana memilki landasan
hukum dan beban pembuktian yang kuat. Untuk penolakan maka terdapat prosedur pencatatan
dokumentasi yang meliputi:
a.
Catat penjelasan yang diberikan dokter tentang risiko dan keuntungan dari
tindakan medik tersebut,
b.
Catat penjelasan tentang risiko yang bisa timbul jika ditundatunda,
c.
Catat penolakan pasien/ keluarganya dan pertanyaanpertanyaan yang diajukan
olehnya,
d.
Catat jawaban-jawaban yang diberikan oleh dokter dan pengulangan penjelasan
risiko yang mungkin terjadi,
e.
Catat dasar alasan pasien menolak tindakan medik tersebut,
f.
Catat keputusan akhir dari pasien dan respons final dari dokter.
g.
Bubuhi tanggal, jam dan tempatnya (misalnya: ruang perawatan, IGD, ICU dan
sebagainya).
h.
Catat juga nama saksi-saksinya.
Tidak
diberikannya informasi oleh dokter dalam pengambilan tindakan medik kepada
pasien dapat dikenakan suatu tuntutan yaitu penuntutan atas informasi yang
kurang (lack of
informed consent). Persetujuan pengambilan tindakan medik
juga bermanfaat sebagai alat kontrol (self control) kinerja dokter.
Referensi
:
Sofwan Dahlan, Hukum
Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Semarang; Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2000
Veronica Komalawati, Peranan
Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (persetujuan dalam Hubungan Dokter
dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung;PT. Citra Aditya Bakti, 2002
Komentar
Posting Komentar