Eksistensi Monopoli BUMN dalam Konteks Demokrasi Ekonomi




Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN). Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya. Dengan mengelola berbagai produksi BUMN, pemerintah mempunyai tujuan untuk mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa publik oleh perusahaan swasta yang kuat. Karena, apabila terjadi monopoli pasar atas barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak, maka dapat dipastikan bahwa rakyat kecil yang akan menjadi korban sebagai akibat dari tingkat harga yang cenderung meningkat.
Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999), menyebutkan monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselengarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Mencermati Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini, dapat kita temukan keterkaitan yang sangat erat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar 1945) Pasal 33 khususnya ayat (2) yang merumuskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu, tentunya sebelum membahas lebih lanjut tentang Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini, seharusnya kita harus memahami Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ada 2 (dua) hal yang ditekankan dalam pasal tersebut.
Hal yang pertama merupakan pengertian cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal ini berarti penghasilan barang dan jasa yang dirasakan vital bagi kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu, sedangkan di dalam kurun waktu bersangkutan pasokannya terbatas, sehingga pemasoknya dapat menentukan harga dan syarat-syarat perdagangan lainnya yang merugikan rakyat banyak demi keuntungan pribadinya.
Hal yang ke dua adalah pengertian “dikuasai oleh negara” yang berarti penguasaan dalam arti yang luas, yaitu mencakup pengertian kepemilikan dalam arti publik dan sekaligus perdata, termasuk pula kekuasaan dalam mengendalikan dan mengelola bidang-bidang usaha itu secara langsung oleh pemerintah atau aparat-aparat pemerintahan yang dibebani dengan tugas khusus.
Sesuai dengan pengertian dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa pemerintah mempunyai tugas menjaga perkonomian negara Indonesia, terutama dalam hal menjaga faktor-faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak agar dapat disalurkan kepada rakyat tanpa ada monopoli dari pihak swasta, yang juga dapat kita lihat dengan jelas dalam tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yaitu :
1.    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2.    Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehingga terjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3.    Mencegah praktek monopoli, dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4.    Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Membaca tujuan dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini dapat dilihat bahwa pemerintah telah melakukan suatu perbuatan administrasi negara dalam kegiatan ekonomi yang bersifat yuridis yaitu pengaturan monopoli dan tindak usaha yang tidak sehat yang berkaitan dengan produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa. Akan tetapi dalam hal yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara sebagai mana di maksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pengecualian terhadap negara, yaitu negara diperbolehkan untuk melakukan monopoli. Sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
Negara dalam hal melakukan monopoli, memberikan hak kepada BUMN dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Dalam praktiknya BUMN paling sering mendapat mandat untuk melakukan monopoli. Hal ini karena BUMN adalah badan usaha yang modalnya baik seluruhnya maupun sebagian secara langsung memperoleh penyertaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 
Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai sebagian besar BUMN merasa bebas dari hukum persaingan. Pelaku usaha plat merah itu cenderung berlindung dibalik Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal tersebut memang memberikan pengecualian monopoli, namun apakah Pasal 51 bisa diterapkan pada seluruhBUMN.
Sampai saat ini terdapat beberapa cabang produksi masih dikuasai oleh negara lewat BUMN, diantaranya sektor hilir minyak dan gas, ketenagalistrikan, dan jaminan sosial tenaga kerja. Untuk kasus monopoli gas yang dipegang oleh Pertamina, sampai saat ini terdapat beberapa kasus yang sudah diproses di KPPU. Pertamina menjadi salah satu contoh mengenai monopoli oleh negara di sektor hilir, baik terhadap komoditi minyak maupun gas. Pada sub sektor elpiji misalnya, sejak awal bisnisnya, Pertamina tercatat sebagai satu-satunya penyedia dan pendistribusi elpiji. Baru kemudian pada tahun 2000, bisnis elpiji mulai diramaikan pelaku usaha lain seperti PT. Blue Gas dan PT. My Gas. 
Namun praktiknya tidak terjadi persaingan yang efektif dalam bisnis elpiji Indonesia. Persaingan hanya terjadi pada tingkat servis, bukan pada persaingan tingkat harga maupun kualitas. Selain itu untuk sebagian besar produk Pertamina, penetapan harganya dilakukan oleh pemerintah dan Pertamina itu sendiri. Untuk BBM misalnya, hanya beberapa jenis produk non-subsidi (seperti avtur, solar industri, dan BBM beroktan tinggi) yang penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Dalam logika bernegara monopoli memang merupakan kewenangan negara demi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai karena monopoli tersebut justru menghambat usaha pemenuhan kebutuhan rakyat. Jangan sampai tujuan mulia untuk menyejahterakan rakyat justru berbalik menjadi merepotkan rakyat bahkan menyengsarakan rakyat.
Namun di era perdagangan bebas saat ini, praktk prvatisasi terhadap BUMN juga cukup marak dilakukan pemerintah karena begitu kuatnya gempuran modal asng yang masuk ke Indonesia ditambah dengan pelayanan yang diharuskan untuk memenuhi kepuasan konsumen tentunya membtuhkan biaya yang besar. Pelaksanaan privatisasi masih tetap menjadi kebijakan resmi pemerintah, termasuk dengan mencantumkannya sebagai salah satu pos pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi keberadaan BUMN sebagai kekuatan strategis perekonomian nasional kembali mencuat ke permukaan.
Terkait dengan krisis keuangan 1997/1998, peran Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter penyelamat perekonomian Indonesia tidak mungkin diabaikan. Secara lebih tegas, melalui berbagai nota kesepahaman yang disodorkannya, peran IMF sebagai otak pelaksanaan privatisasi yang dilakukan pemerintah tidak mungkin dibantah. 

 

Kenyataan itu masih diperparah oleh masih dominannya peranan Mafia Berkeley dalam pentas ekonomi-politik nasional. Implikasi dari kombinasi dua kepentingan ekonomi-politik yang sangat propasar itu, maka mudah dimengerti bila privatisasi BUMN cenderung mencuat menjadi kebijakan prioritas. Sebagaimana direpresentasikan antara lain oleh Frans Seda, "Semua BUMN harus diprivatisasi."
Krisis demi krisis yang melanda perekonomian dunia ternyata berpengaruh cukup besar terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan badan usaha milik negara (BUMN).  Jika krisis keuangan yang melanda beberapa negara Asia Timur dan Tenggara pada 1997/1998 mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN, maka krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara industri utama pada 2007 lalu, justru cenderung mendorong pemerintah untuk kembali merangkul BUMN sebagai kekuatan strategis perekonomian nasional.
Latar belakang pergeseran kebijakan itu tentu tidak dapat dilepaskan dari kombinasi perubahan situasi lingkungan ekonomi-politik internasional dan tarik menarik antarkepentingan yang memengaruhi perumusan kebijakan ekonomi-politik nasional.
Ditambah oleh semakin kerasnya perlawanan terhadap pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara nasional, maka kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan BUMN pun cenderung berbalik arah.
Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia, hal ini sangat jelas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Yang isinya adalah sebagai berikut:
1.    Pasal 33 ayat (2) :
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

2.    Pasal 33 ayat (3) :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mewajibkan pemerintah sebagai wakil Negara untuk melakukan penguasaan terhadap:
1.    cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara;
2.    cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
3.    sumber daya alam.
Tujuan dari penguasaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mencegah terjadinya monopoli oleh baik oleh perorangan maupun kelompok.
2.      Mengamankan kepentingan Negara berkenaan dengan objek yang vital .
3.      Memanfaatkan cabang-cabang produksi dan sumber daya alam tersebut untuk kemakmuran rakyat.
Untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 maka Negara perlu membentuk suatu badan hukum privat. Negara sebagai badan hukum publik dapat mendirikan badan hukum publik lain (daerah) dan badan hukum privat. Badan hukum privat tersebut di satu sisi diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi Negara dalam rangka mensejahterakan rakyat dan di sisi lain harus berorientasi kepada kepentingan publik. Badan hukum privat yang dibentuk oleh Negara tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
BUMN berperan penting dalam penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan orang banyak. Keberadaan BUMN diharapkan akan mengimbangi keberadaan perusahaan-perusahaan swasta sehingga dapat dihindari terjadinya monopoli atau penguasaan cabang-cabang produksi tersebut oleh swasta.
BUMN sebagai badan usaha pada prinsipnya bertujuan mencari keuntungan dari kegiatan usahanya. Badan usaha tersebut tidak semata-mata mencari keuntungan, namun ia harus memperhatikan kepentingan publik. Hal ini disebabkan karena badan usaha tersebut mayoritas atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara. Pemerintah sebagai wakil negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas negara, diantaranya adalah menyelenggarakan pelayanan umum (public service).
Pasal 9 UU BUMN membagi BUMN menjadi dua bentuk yaitu Persero dan Perum. Karakteristik utama dari Persero adalah mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berbeda dengan Persero, karakteristik utama Perum adalah menyelenggarakan pelayanan umum. BUMN berbentuk Persero diharapkan akan memberikan pemasukan yang tinggi bagi negara dari hasil kegiatan usahanya melalui deviden bagi pemerintah sebagai pemegang saham sedangkan BUMN berbentuk Perum diharapkan dapat melakukan pelayanan publik di samping memupuk keuntungan. 
Eksistensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia sebagai salah satu instrumen pemerintahan dalam pembangunan dirasakan sangat penting peranannya, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat luas. Dari sisi pemerintah, BUMN sering kali digunakan sebagai salah satu instrumen penting dalam pembangunan ekonomi, khusunya pembangunan di bidang industri-industri strategis seperti telekomunikasi, transportasi, industry-industri manufaktur dan lain sebagainya. Sementara dari sisi masyarakat, BUMN merupakan instrumen yang penting sebagai penyedia layanan yang cepat, murah dan efisien.
Referensi :   :

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia UU No. 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 231.

Adi Fadli, “Cabang Produksi yang Tak Berhajat”, http://timpakul.web.id/cabangproduksi-yang-tak-berhajat


KPPU, ”Perkembangan Sektor Migas Dari Sudut Persaingan Usaha” http://www.kppu.go.id





Komentar

Postingan Populer