AKTA OTENTIK


Menurut bentuknya maka akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa , menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Di dalam HIR pasal 165 akta otentik disebutkan bahwa :
“ Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.

Pejabat yang dimksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya. Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabiloa ditandatangani oleh pihak –pihak yang bersangkutan.

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.

Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut pasal 165 HIR ( Ps. 285 Rbg, 1870 BW) , maka akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Dari pasal 165 HIR ( Ps. 285 Rbg, 1870 BW) dapatlah disimpulkan, bahwa akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi : 1, akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaal acte) dan 2. Akta yang dibuat oleh para pihak ( partij akte). Yang pertama merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Sebagai contoh daripada akta pejabat ini misalnya ialah berita acara yang dibuat oleh Polisi atau panitera pengganti di persidangan. Akta yang kedua , yaitu yang di buat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, adalah akta dengan mana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukanya. Partijakte ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh dapat disebutkan akta notariil tentang jual beli, sewa menyewa dan sebaginya. Biasanya suatu partijakte diawali dengan kata-kata “ Pada hari ini……tanggal……menghaadp pada saya X, notaris di……, A dan B , yang menerangkan seperti berikut ……”. ( Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H. , Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketiga Cetakan Pertama 1988 : 119-121, Liberty Yogyakarta).


Semua akta yang dibuat di hadapan notaris dapat disebut sebagai akta autentik. Meskipun demikian, bukan berarti hanya notaris yang berwenang membuat surat autentik. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada pihak lain yang juga berwenang membuat akta autentik, yaitu kepolisian dan catatan sipil. Menurut KUHPerdata, akta autentik adalah sebuah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undanh atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat pembuatan akta itu. Akta autentik itu proses pembuatan dan penandatangannya dilakukan dihadapan notaris. Akta autentik dapat membantu bagemegang /pemiliknya jika tersangkut kasus hukum.

Tidak semua akta dapat disebut sebagai akta autentik. Sebuah akta disebut akta autentik jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bentuk akta tersebut sesuai dengan yang ditentukan undang-undang. Sebuah akta autentik memiliki bentuk pola sendiri. Jadi, seseorang yang ingin membuat akta autentik di hadapan notaris tidak dapat membuat dengan format sembarangan.
2. Akta autentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat Negara. Notaris adalah salah satu pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta autentik.
3. Akta autentik dibuat oleh pejabat yang berwenang atau notaris yang berhak. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang bermasalah tidak berwenang untuk membuat akta autentik. Seorang notaris yang sedang dibekukan izinnya atau yang belum memiliki iain, tidak dapat membuat sebuah akta autentik.

Sebuah akta autentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Sempurna di sini berarti hakim menganggap semua yang tertera dalam akta merupakan hal yang benar, kecuali ada akta lain yang dapat membuktikan bahwa isi akta pertama tersebut salah. Oleh karena itu, pembuatan sebuah akta autentik menjadi sesuatu yang penting. Memiliki akta autentik berarti kita memiliki bukti atau landasan yang kuat dimata hukum.

Ada beberapa alasan yang menunjang kekuatan hukum sebuah akta autentik. Akta autentik dibuat di hadapan seorang pejabat umum Negara sehingga legalitasnya dapat dipastikan, ditambah lagi bahwa seorang pejabat umum Negara tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan akta. Hal ini berbeda dengan akta yang dibuat sendiri, meskipun disaksikan pihak ketiga, tetapi hal itu tidak dapat menajdi sebuah jaminan. Dapat saja pihak-pihak yang terlibat pembuatan akta akan menyangkal keterlibatannya. Hal ini dapat saja terjadi karena mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.

Hal lain yang mebuat akta autentik memiliki kekuatan hukum adalah karena akta autentik memiliki minuta akta yang disimpang oleh Negara melalui notaris. Akan sangat kecil kemungkinan akta autentik hilang. Bukan hanya itu, jika seseorang menyangkal isi atau keberadaan akta autentik maka akan mudah untuk diperiksa kebenarannya. Oleh karena itu, berhati-hatilah jika ingin membuat atau menyangkal sebuah akta autentik.

Prinsip kehati-hatian perlu diperhatikan sewaktu membuat akta autentik, terutama yang menyangkut perjanjian. Pembuatan akta autentik yang berkaitan dengan perjanjian biasanya dilengkapi dengan konsekuansi atau akibat jika salah satu pihak melanggar perjanjian. Hal ini dapat menyebabkan seseorang terlibat masalah hjukum karena akta autentik dilengjapi dengan opsi hukuman akan memiliki kekuatan eksekusi. ( ira Koesoemawati, SH. Dan Yunirman Rijan, SH., M. Kn , Ke Notaris , 2009 : 82-84, raih Asa Sukses , Jakarta).

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan , yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembnuktian.
Akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo ( 1985 : 124) adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan baik, maupun tanpa bantuan dari yang berkeptningan, yang dicatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.

Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satusatunya alat bukti yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya termasuk akta dibawah tangan yaitu :
1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud dalam pasal 1868 BW, 164 RIB dan 283 RDS;
2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;
3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki berdasarkan undang-undang;
4. Berdasarkan pasal 1870 BW atau 165 RIB akta otentik memberikan diantara pada pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya;
5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti yang mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak memerlukan sesuatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis didalmnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.

Kekuatan pembuktian akta otentik itu adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahir
Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagi akta otentik serta memenuhi syarat –syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil
Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian tentang kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang pasti adalah tanggal dan tempat akta otentik itu dibuat serta keaslian tanda tangannya.

3. Kekuatan pembuktian materiil
Pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil, karena akta pejabat tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran apa yang dolihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian materil adalah akta yang dilakukan atau dikeluarkan kantor pencatatan sipil.

Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik yaitu :

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.
Akta ini disebut juga dengan akta relaas atau akta berita acara yang berisi uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikaan pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. Sedangkan akta yang dibuat di hadapan pejabat umum dalam praktek disebut akta pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan pejabat umum. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.

Disini harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan para pihak . jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada pejabat umum tidak akan membuat akta dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak pejabat umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran pejabat umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam bentuk akta otentik, hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat pejabat umum, selain itu, atau isi aktapun merupakan perbuatan para pihak, bukan perbuatan atau tindakan pejabat umum.
Pengertian tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik. Dalam arti hal ini tidak berarti bahwa pejabat umum sebagai pelaku dari akta tersebut, tetapi pejabat umum tetap berada di luar para pihak atau buka pihak dalam akta tersebut.

Dalam tataran hukum yang benar mengenaai akta otentik, jika suatu akta otentik diermasalhkan oleh para pihak, maka :
a. Para pihak dating kembali ke pajabt umum untuk membuat pembatalan tersebut dan jika ada yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut;
b. Jika para pihak tidak sepakat bahwa akta yang bersangkutan dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya dengan gugatan untuk mendegradisikan, hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ?. hal ini tergantung pada pembuktian dan penilaian hakim.

Apabila dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat oleh pejabat umum, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi berupa tuntutan ganti rugi kepada pejabat umum yang bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut akibat langsung dari akta otentik tersebut. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh pejabat umum, baik dari aspek lahiriah, aspek formal, maupun aspek materiil atas akta otentik.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet).
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk yang udah ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini undang-undang harus diartikan sebagaimana yang tersebut dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 undang-undang tersebut menegaskan bahwa :
“ peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :
“ undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan rakyat dengan persetujuan bersama presiden”.

Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris dan PPAT meliputi empat hal , yaitu :
1. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu.
Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain atau notaris juga berwenang membuatnya. Di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, juga mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas, seperti halnya PPAT yaitu hanya terbatas pada pembuatan delapan jenis akta saja.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Mengenai orang dan untuk siapa akta itu dibuat harus ada keterkaitan yang jelas.

3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat.
Baik Notaris maupun PPAT mempunyai tempat kedudukan dan wilayah kerja masing-masing .
4. Notaris haris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti, atau diberhentikan sementara waktu.

Dengan demikian seorang Notaris sudah memenuhi syarat sebagai pejabat umum- Notaris sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1868 BW, sehingga akta yang dibutanya adalah akta otentik dan memounyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sedangkan akta pejabat umum PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 BW, khususnya akta PPAT dibuat tidak berdasarkan undang-undang, tetapi hanya berupa aturan hukum setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Dengan demikian , akta PPT bukan sebagai akta otentik, melainkan sebagai perjanjian biasa setingkat dengan akta dibawah tangan. Dari segi fungsi, akta PPAT hanya mempunyai pembuktian dengan kualifikasi sebagai surat di bawah tangan yang penilaian oembuktiannya ( jika bermasalah) diserrahkan kepada hakim jika hal tersebut diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri. Alasan lain bahwa akta PPAT bukan akta otentik , karena para PPAT hanya mengisi formulir/blanko akta to fiil) yang telah disediakan oleh oihak lain, bukan membuat to make) akta.

Untuk itu, pada dasarnya PPAT dan akta PPAT belum memmpunyai kedudukan hukum yang kuat, oleh karena itu agar kjedudukan hukumnya kuat maka harus diatur dan dibuatkan Undang-undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. ( Dr. Habib AQdjie, S.H., M.Hum, Meneropng Khazanah Notaris dan PPAT di Indonesia ( kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), 2009 : 267-275, Citra Aditya Bakti, Bandung).

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Pemberian kualifikasi sebagai pejabat umum tidak hanya kepada Nitaris saja, tapi juga diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dengan demikian Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi tidak setiap Pejabat Umum pasti Notaris, karena Pejabat umum bisa juga PPAT atau Pejabat Lelang.

Dalam aturan hukum yang lain, ada juga istilah Pejabat Negara, selain itu ada juga Badan atau Pejabat Tata usaha Negara , yaitu badan atau Pejabat yang melaksanakan urursan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undanagn yang berlaku. Penjelasan pasaltersebut, yang dimaksud urusan pemerintahan ilaha kegiatan yang bersifat eksekutif. Dalam kehiduoan sehari-hari yang dimaksud dengan pemerintah adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh para Badan dan Jabatan (Pejabat) Tata Usaha Negara (TUN) yang bukan pembuatan peraturan dan mengadili.

Sebutan Pejabat Tata Usaha Negara , tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara structural memangku suatu jabatan Tata Usaha Negara , tetapi juga dapat ditujukan kepada siapa saja yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangann melaksanakan urusan pemerintahan (fungsional), maka yang berbuat demikian dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga segala keputusan yang mereka keluarkan yang memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, jika merugikan pihak-pihak tertentu, keutusan tersebut dapat dijadikan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Untuk hal tertentu, tidak selalu keputusan yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara memenuhi syarat sebagai Keputusan tata usaha Negara, hal ini berlaku pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara fungsional Jabatan PPAT termasuk dalam kategori Pejabat Tata Usaha Negara , yaitu ketika menjalankan urusan pemerintahan berupa tangkaian merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran tanah, dengan membuat akta PPAT, tapi akta PPAT tidak termasuk objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, karena akta PPAT bukanlah beschikking. Oleh karena elemen obyek tidak dipenuhi, maka seorang PPAT tidak dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara . oleh Philpus M. Hadjon dikemukakan pula bahwa :
Figur hukum akta PPAT bukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) , karena akta PPAT :
1. Tidak memenuhi hakekat KTUN sebagai suatu besluit. Suatu besluit pada hakekatnyaadalah suatu beslissing. Akta PPAT bukanlah suatu beslissing dari PPAT.
2. Bukan norma hukum sebagaimana halnya KTUN adalah norma penutup dalam rangkaian norma hukum.
3. Tidak memenuhi unsure KTUN menurut ketentuan pasal 1. 3 UU No.5 1986. Dan PPAT bukanlah pejabat TUN dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 1.6 UU. No. 5 Tahun 1986.

Kedudukan PPAT sebagaimana tersebut di atas dutegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia :
1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 28 Juli 2001, ditegaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai Pejabat Tata Usaha Negara , namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata, dan akta PPAT bukan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 sub 3 undang-undang nomor 5 tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara.
2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000, ditegaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 19 PP . No. 10 Tahun 1961), akan tetapi akta jual beli yang dibuat oleh PAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara karena bersifat bilateral ( kontraktual), tidak berifat universal yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.

Menurut Philipus M. Hardjon ( Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 januari 2001 halaman 3 ) bahwa syarat akta otentik itu , yaitu :
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku),
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum.
Sedangkan Irawan Soerodjo ( Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003 : 148 ) bahwa ada 3 (tiga) unsure esensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu :
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat –syarat sebagai berikut :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenoverstaan) seorang Pejabat Umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer