Reformasi Agraria dan Kesejahteraan Petani
SEBAGAIMANA telah banyak diulas, persoalan agraria dan petani hampir sebagian besar pemerhati melukiskan bahwa konflik pertanahan dan kesejahteraan petani adalah masalah krusial yang butuh segera diupayakan penyelesaiannya. Hanya saja basis analisisnya, termasuk dari kalangan Marxis, secara general saja tanpa mempertimbangkan kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain.
Memang dalam tataran fenomena empirik dua persoalan tersebut dominan di sektor ini.Namun, dengan mengabaikan kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia, akibatnya kekeliruan dalam rumusan praktisnya adalah sebuah keniscayaan.Sebenarnya, di dalam menganalisis persoalan dinamika masyarakat kekinian, tentu dalam konteks kapitalisme, tidak bisa lepas dari ciri-ciri mendasar (fundamental) sejak lahir hingga perkembangannya.
Buktinya, ketika sebagian dari mereka berhasil memberi kesimpulan tersebut pada persoalan agraria dan petani tetapi secara simultan menggagas pula signifikansi program landreform sebagai solusinya. Atau pun gagasannya untuk meningkatkan produktivitas, sebagai solusinya, kecenderungan dari logikanya rentan dikatakan mampu meningkatkan produktivitas dalam makna mensejahterakan petani. Adapun tulisan ini posisinya akan memberikan pertimbangan, benarkah begitu jawaban yang tepat bagi problem mendasar tani. Sebab, jika mendasarkan pada kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia kita akan menemukan fakta landreform meragukan sebagai jawaban yang tepat.
Jelas, dibandingkan dengan Eropa ciri-ciri feodalisme di Indonesia sangat berbeda. Di Eropa, tanah dikuasai baron-baron (tuan-tuan tanah) dan tersentral. Dalam hubungan produksinya, tuan-tuan tanah itu mempekerjakan tani-tani hamba, yang tidak mempunyai tanah.
Sedangkan di Indonesia karakteristiknya berbeda-khususnya di Jawa-struktur kepemilikan tanah adalah milik dewa atau Tuhan. Tanah secara penuh dikuasai oleh raja sebagai "wakil Tuhan di muka bumi", tetapi pada waktu Raffles berkuasa, status tanah diubah. Tanah menjadi milik negara.Karenanya bagi penggarap tanah harus membayar pajak (landrente) kepada negara-Domein Theory.Sebelumnya sistem yang berlaku, di Jawa, petani penggarap diharuskan menyerahkan dalam bentuk natura. Dan Raffles memanfaatkan aparatus-aparatus pedesaan dalam rangka akumulasi modalnya, serta menerapkan program pembagian tanah-tanah ke petani.
Sebagaimana dikatakan Jan Breman (LP3ES, 1988), tanah komunal kemudian dibagi-bagi ke petani agar akumulasi modal bisa dicapai.Lurah diberi tanah bengkok sekitar satu bau (satuan ukuran luas tanah, sama dengan 7.096 meter persegi) sebagai upah sebagai lurah. Selanjutnya, ciri sistem penggarapan tanahnya adalah dibagi dalam petak-petak kecil kepada sikep-sikep, kerik, bujang, dan sebagainya.Mengikuti hierarki perhambaan feodalnya. Istilahnya lain-lain di setiap daerah. Alat-alat produksinya sederhana, dan hasilnya untuk kebutuhan subsistem semata.De facto tanah sudah terbagi-bagi kepada petani.Hingga pascakemerdekaan, sampai sekarang perubahan struktur tanah tidak begitu signifikan. Dalam pascakemerdekaan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, petani oleh negara mendapat pembagian tanah antara dua hingga lima hektar. Obyek utama landreform adalah tanah-tanah bekas erfpacht dan hasil nasionalisasi-sebagian oleh Soekarno diserahkan ke tentara.
Semasa Orde Baru hingga kini kondisi obyektif sistem kepemilikan tanah, ada tiga ciri.Pertama, mereka yang tidak mempunyai tanah sehingga kemudian menjadi buruh tani-menjual tenaga pada pemilik tanah-untuk menyambung kelangsungan hidupnya.Jumlah buruh tani tidak banyak, karena sebagian besar petani Indonesia mempunyai tanah dalam petak-petak kecil atau yang dikenal dengan borjuis kecil pedesaan.Kedua, seperti yang telah disebutkan tadi, para borjuis kecil pedesaan.Mereka hidup dari mengolah tanah yang dimilikinya, di sinilah tanah berfungsi sebagai alat produksi bagi petani.Ketiga, pemilikan tanah yang dikuasai negara, swasta kroni penguasa Orde Baru dan institusi-institusi militer.Kebanyakan tanah ini adalah bekas tanah erfpacht dan bekas tanah adat/ ulayat (yang tidak tergarap karena ketiadaan tenaga produktif, paling menjadi lahan berburu).Tanah ini di era pemerintahan Orde Baru dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI), PTP dan sejenisnya.
Pada era Orde Baru juga terjadi perampasan-perampasan tanah akibat dari industrialisasi yang mengabaikan hak-hak pemilik tanah-ganti rugi tidak memadai, penggusuran paksa dan sebagainya. Kepemilikan tanah jenis ketiga inilah yang kebanyakan menimbulkan konflik di kalangan petani. Karena dari sejarahnya tanah-tanah bekas erfpacht ini seharusnya diserahkan kepada petani penggarapnya dengan status hak guna-menurut UUPA 1960-tetapi oleh Orde Baru diselewengkan. Tentu saja dalam kasus-kasus seperti ini nasib petani yang tergusur tanahnya harus diperjuangkan. Tetapi, akan menjadi aneh jika pengembalian tanah-tanah yang dirampas Orde Baru dijadikan model bagi kesejahteraan petani secara keseluruhan.
Dengan basis inilah maka tidak tepat jika menetapkan program landreform.Landreform sebagai gerakan sosial dan politik dimaksudkan sebagai antitesis terhadap kepemilikan tanah berdasarkan hak-hak feodal.Dalam makna ekonomi, transisi dari feodalisme ke kapitalisme (baca: Revolusi Demokratik) sehubungan dengan kepentingan dan kebutuhan petani untuk memiliki tanah, landreform bertujuan untuk mengubah struktur kepemilikan berdasarkan hak-hak feodal menjadi milik perseorangan dengan merebut dari tuan-tuan tanah dan bangsawan.
Sedangkan dalam makna politik hakikat dari gerakan landreform tujuannya menjadikan tanah sebagai hak milik perseorangan (property rights). Tanah dengan status sedemikian, dalam masyarakat kapitalis statusnya sama seperti tenaga produktif yang diubah menjadi komoditas (tenaga kerja, pabrik, mesin-mesin dan sebagainya).
Jadi dalam soal pertanahan tidak terdapat adanya fakta/ciri kontradiksi antara tuan tanah dengan hamba tani. Sehingga dalam memaknai adanya gerakan tani yang selama ini berkembang, kategorinya berbeda dengan gerakan-gerakan tani di Eropa masa-masa kehancuran feodalisme atau dengan kata lain dalam periode Revolusi Demokratik (Revolusi Borjuis) menuntaskan feodalisme Eropa. Kontradiksi di perkotaan antara raja dan kaum borjuasi (berusaha menarik keterlibatan kaum tani dalam perjuangannya) semakin memuncak dan meluas sampai ke pedesaan-antara kaum hamba sahaya (buruh tani) dengan tuan-tuan tanah. Dari sinilah aksi pengambilalihan tanah milik tuan tanah yang luas oleh petani, dan kemudian dibagi-bagi. Maka populerlah dengan aksi landreform.
Lalu dari mana asal mula buruh tani di Indonesia yang tidak memiliki tanah?Seperti dijelaskan di atas pada awalnya mayoritas sudah memiliki tanah dalam bentuk petak-petak kecil.Menjadi kelompok yang membesar karena persaingan dalam masyarakat kapitalis melemparkan dan membuat mereka kehilangan tanah-baik secara halus maupun dirampas.Perkembangan ini hanyalah membuktikan dalam masyarakat kapitalis bahwa tanah bukan satu-satunya tenaga produktif termasuk bagi petani sendiri. Mereka kemudian hanya memiliki tenaga kerja yang diupah baik di perkebunan, di lahan petani kecil lain (musiman) dan menjadi buruh di kota-intinya menjadi kelas proletariat.
LEMAHNYA tenaga produktif (force of production) di pedesaan, juga merupakan problem.Artinya minimnya modal, manajemen produksi dan rendahnya teknologi pertanian yang menunjang, kebanyakan petani pemilik tanah kecil ini tidak sepenuhnya mengandalkan tanahnya yang kecil ini untuk memenuhi kehidupannya.Mereka bahkan mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sebagai buruh tani, di lahan pemilik tanah lainnya.Dan karena ini pula, biasanya tani tetap mengerjakan (menghisap) tenaga buruh tani di petak tanahnya, sekalipun tanahnya hanya 0,5 hektar.Dari fakta ini spirit filosofis landreform patut dipertanyakan. Landasan filosofisnya adalah kepemilikan tanah dibawah dua hektar tidak mencukupi kebutuhan petani dan bisa jadi akan dijual, di atas lima hektar akan menyebabkan petani menjadi tuan tanah dan menindas buruh tani.
Akibat minimnya tenaga-tenaga produktif mempengaruhi tingkat produktivitas petani.Dengan minimnya modal dan rendahnya teknologi pertanian, tingkat produktivitasnya menjadi tidak efektif dan efisien.Ditambah dengan problem nilai tukar produk pertanian dengan produk industri manufaktur yang tidak sesuai. Hal ini mudah kita dapati: harga satu liter beras tak sebanding dengan harga-harga kebutuhan sandang, sebagai contoh. Apalagi jika untuk mengakses teknologi pertanian modern.Perbandingannya bagai bumi dan langit.
Ketiadaan jaminan dari pemerintah terhadap hasil produksi pertanian adalah cermin pengabaian penguasa terhadap nasib petani. Kasus yang paling aktual adalah keterpurukan petani akibat liberalisasi tarif bea impor beras dan gula belum lama ini. Selama ini hanya beberapa komoditas pertanian saja yang dijamin dengan harga pagu (gabah dan beberapa komoditas lain), dan itu pun dengan standar yang masih rendah untuk ukuran kesejahteraan petani.
Problem minimnya modal dan rendahnya teknologi pertanian modern tersebut, disebabkan pula anggaran negara selama kekuasaan Orde Baru (hingga pemerintahan Abdurrahman Wahid) yang disediakan untuk mengembangkan teknologi dan produktivitas pertanian sangatlah kecil dibanding dengan dana bagi industrialisasi. Sekalipun pada tahun 1980-an Pemerintah Orde Baru menerapkan modernisasi dan mekanisasi pertanian (Revolusi Hijau). Dalam perkembangannya bukanlah untuk memajukan tenaga-tenaga produktif di pedesaan, terbukti hingga sekarang, minimnya modal, manajemen yang rendah, dan teknologi pertanian di Indonesia sangatlah usang-bahkan dibandingkan dengan negeri berkembang lainnya (Vietnam, Thailand, Cina, dan lain-lain).
Revolusi Hijau hanyalah dimaksudkan untuk menjadi penyangga kebutuhan pangan bagi proses industrialisasi. Anggaran untuk kredit-kredit pertanian dan rekayasa teknologi pertanian sangat minim-bandingkan dengan subsidi pemerintah untuk bankir-bankir korup dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
FAKTOR lainnya adalah problem politik.Sebagaimana kita ketahui, sejak Orde Baru berkuasa gerakan-gerakan tani yang sebelumnya berkembang diberangus. Hal ini sangat jelas mempengaruhi bagi kehidupan petani dengan dipotongnya basis massa petani dengan organisasi-organisasi wadah perjuangannya. Dan bargaining terhadap negara untuk memperjuangkan hak-haknya pun tidak ada.Dengan tidak adanya gerakan tani yang signifikan, akhirnya Pemerintah Orde Baru tidak bisa dikontrol dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap peningkatan produktivitas dan kesejahteraan tani.
Akhirnya belajar dari kenyataan tersebut, negara harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan dua persoalan pokok menyangkut peningkatan produktivitas dan kesejahteraan tani.Dalam hal ini adalah menyelesaikan persoalan-persoalan sengketa tanah antara negara dan petani seadil-adilnya, dengan dilanjutkan mengembalikan tanah-tanah rampasan kepada petani. Selanjutnya, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan modal (mengalokasikan anggaran besar ke pertanian, kredit bunga murah dan lunak, subsidi-subsidi terhadap Saprodi (sarana produksi padi), menyediakan teknologi modern murah dan jaminan harga pagu produk pertanian dan lain-lain, dan sarana teknologi modern bagi pertanian.
Negara juga bertanggung jawab untuk memberi kebebasan seluas-luasnya dan menjamin hak petani untuk berorganisasi, serta memberikan kesempatan bagi petani untuk ikut menentukan kebijakan negara.Akan tetapi, untuk yang satu ini, jelas tidak cukup bergantung pada pemerintah semata.Petani harus berkesadaran mengorganisasi diri dan melakukan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi jalannya transformasi sosial-politik.
* Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum PRD (Partai Rakyat Demokratik).
Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS – Sabtu, 30 September 2000
Komentar
Posting Komentar