Sejarah Lembaga Lelang

Pertama, seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah bekas negara
jajahan Belanda yang disebut sebagai Hindia Belanda yang pada
waktu itu penduduk Hindia Belanda menurut pasal 163 ayat (1)
“Indische Stactsregeling” (IS) dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. golongan Eropa
b. golongan Timur Asing
c. golongan Bumiputera
dan terhadap masing-masing golongan penduduk berlaku Hukum Perdata yang
berbeda-beda. Bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum dagang
yang berlaku di Negara Belanda. Bagi golongan Timur Asing berlaku bab-bab
tertentu hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku bagi golongan Eropa.
Sedangkan bagi penduduk asli (golongan Bumiputera) berlaku hukum adat.
Sesuai dengan asas konkordasi maka berbagai bidang hukum perdata yang
diberlakukan bagi penduduk Eropa dan Timur Asing tersebut antara lain mengatur
tentang lelang.


Kedua, Hindia Belanda adalah negara jajahan sedangkan jabatan pejabat
pemerintahan dan perusahaan-perusahaan Belanda di Hindia Belanda dijabat oleh
orang-orang Belanda. Bila terjadi mutasi perpindahan/mutasi pejabat Belanda
tersebut timbul masalah mengenai penjualan barang-barang dari para pejabat
Belanda yang mutasi tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, perlu adanya suatu
lembaga lelang. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda berpikir untuk menciptakan
lembaga lelang tersebut, maka pada tahun 1908 terbitlah Staatblad 1908 Nomor
189 tentang Vendu Reglement. Pertimbangan tersebut sangat nyata, apalagi pada
Pasal 5 Vendu Reglement menyatakan permintaan lelang eksekusi dan barang-
barang-barang pindahan untuk diutamakan.

Pada saat itu juga terbentuk institusi yang namanya Inspeksi Lelang, yang
bertanggung jawab dan berada dibawah Menteri Keuangan yang pada waktu itu
disebut Direktuur Van Financient. Pada saat itu juga terdapat Direktorat Jenderal
Pajak yang bernama Inspeksi Keuangan. Namun demikian tidak berarti bahwa
Inspeksi Lelang sama atau sederajat

Dibawah Menteri Keuangan terdapat unit operasionalnya yang disebut
Vendu Kantoren (Kantor Lelang Negeri) yang pada saat itu jumlahnya belum
banyak yaitu berada di beberapa kota antara lain Batavia (Jakarta), Bandung,
Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, Banda Aceh, Medan dan
Palembang.
Selanjutnya pada tahun 1919 dengan keputusan Gubernur Jenderal
Nederlandsch Indie untuk daerah-daerah yang belum terjangkau Vendu Kantoren
(Kantor Lelang Negeri) dan kurangnya pelaksanaan lelang maka diangkatlah
Vendumesteer klas II (Pejabat Lelang Kelas II). Pada waktu itu jabatan
Vendumesteer klas II (Pejabat Lelang Kelas II) dilakukan Pejabat Notaris
setempat, dan secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dengan meningkatnya
pelayanan lelang maka jabatan tersebut ditingkatkan menjadi Kantor Lelang
Negeri Kelas I. Tidak diketahui pasti perubahan penyebutan Vendumesteer
menjadi Juru Lelang dan seterusnya menjadi Pejabat Lelang, diperkirakan pada
tahun 1970-an dalam praktek dan peraturan yang mengatur tentang lelang telah
digunakan istilah Pejabat Lelang.

Tata cara dan prosedur lelang diatur dalam peraturan (reglement)
sedangkan Bea Materai diatur dalam peraturan (verordening) dan kemudian masih
banyak lagi pengaturan-pengaturan yang dilakukan dengan reglement dan
verordening. Pengaturan-pengaturan tersebut belum diatur dalam ordonansi
karena pada tahun itu belum terbentuk lembaga yang disebut Volksraads
(parlemen atau DPR) yang bertugas membentuk ordonansi atau Undang-undang.
Volksraad ini baru dibentuk pada tahun 1926 yang anggotanya dipilih berdasarkan
penunjukan bukan melalui pemilihan. Dengan demikian reglement dan
verordening saat itu dibuat bersama antara Gubernur Jenderal dengan
Hegerechthoof (Mahkamah Agung).


Source : Buku Lelang: Teori dan Praktik

Komentar

Postingan Populer