Interpretasi Hukum

Pakar hukum yang berpendapat ada pemisahan secara tegas antara interprestasi dan konstruksi hukum

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H membedakan penemuan hukum menajadi dua yaitu metode interprestasi dan metode konstruksi. Adapun perbedaan antara dua metode adalah sebagai berikut pada interprestasi,penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

L.B Curzon tampak cenderung melihat interprestasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang, sedangkan konstruksi mengandung arti pemecahan atau penguraian maka ganda, kekaburan, dan ketidakpastian dari perundang-undangan.
J.C Gray memberi ciri khas bagi interprestasi dengan adanya unsur; arti itu dianggap berasal dari pembuat undang-undang. Ini terlihat dari kalimat bahwa interprestasi tidak lain merupakan proses di mana hakim maupun para pakar hukum lain, bahkan orang awam sekali pun, mencari makna kata-kata yang diyakini berasal dari pembuat undang-undang atau paling tidaknya dianggap berasal dari pembuat undang-undang.

Polak, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh hakim tersebut, tempat dimana perkara yang dihadapkan pada hakim tersebut terjadi, zaman perkara yang dihadapkan pada hakim tersebut terjadi.

Pakar hukum menyamakan antara interprestasi dan konstruksi hukum

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. konstruksi tampak olehnya dimasukkan ke dalam kriteria metode argumentasi, menyebutkan jenis-jenisnya, yaitu metode analogi, metode penyempitan hukum, dan metode a contrario.

Prof. Mr. Pittlo (1972: 120-137) juga melihat interpretasi masih sebagai sesuatu yang terikat dengan bunyi teks undang-undang. Pittlo menuliskan :”Selama kita menafsirkan, kita bertitik tolak pada undang-undang. Kita dapat menafsirkan secara dramatikal atau sistematis, historis, atau teleogis, tetapi dalam hal-hal tersebut kita menghadapi teks undang-undang...”. Pittlo memisahkan interprestasi yang masih terikat dengan bunyi teks undang-undang dengan jenis lain ke dalam konstruksi.Pittlo tidak secara tegas menggolongkan demikian, tapi jelas berbeda dengan interprestasi. Tampak dari apa yang dituliskan oleh Pittlo berikut ini : “Di luar itu, ada kegiatan hakim yang seakan-akan bekerja secara otonom, yang menyatakan bahwa ia tidak mempunyai pegangan dalam undang-undang. Oleh karena itu mandiri, di luar undang-undang, dalam menyusun putusannya. Dalam mencari hukum di luar undang-undang itu terasa unsur menciptanya,tetapi jelas bahwa tidak dapat ditarik batas dengan tajam. Hal ini telah nyata dari pertengkaran lama tentang dasar penalaran secara analogis. Yang satu melihat dalam hal ini secarasemacam penafsiran ekstensif, yang lain melihat dalam penalaran analogis justru bukan penafsiran lain, tetapai pelepasan diri dari teks.

Mohammad Aldyan, S.H. interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Bentham, suatu jenis pemanis bagi pengubahan undang-undang. Interprestasi sebenarnya menerapkan hukum baru dengan memperluas suatu hukum lama. Bentham menyatakan bahwa yang terpenting baginya adalah menjawab pertanyaan-pernyataan:”apakah perbedaan antara yang disebut interprestasi itu dengan yang disebut pembuatan hukum oleh hakim?”

Sependapat bahwa analogi identik dengan interprestasi ekstensif

Prof. Scholten (dalam Moelyatno,1980:18) : “Baik dalam hal tafsiran ekstensif, maupun analogi, dasarnya adalah sama. Itu dicoba untuk mengemumakan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum) atau lebih abstrak dari norma yang ada dan dari ini lalu dideduksi menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara keduanya itu hanya ada perbedaan gradual saja.”

Moelyatno menuliskan bahwa: “Dalam tafsiran kita berpegang kepada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Adalah mungkin jika dibandingkan dengan maknanya ketika aturan itu dibuat, bahwa yang pertama adalah lebih luas. Namun, sungguhpun demikian, makna yang lebih luas itu secara objektif bersandar atas pandangan masyarakat mengenai perkataan itu.”

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. analogi digunakan apabila terdapat kekosongan dalam undang-undang jadi analogi berarti mengisi kekosongan dan ketidak kelengkapan undang-undang dengan sesuatu yang tidak ada dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi: tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuataan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuataan dilakukan. Dalam hal interprestai ekstensif tidak ada kekosongan dalam undang-undang. Undang-undang lengkap , hanya saja tidak jelas sehingga perlu dijelaskan atau ditafsirkan. Hakim dalam hal ini tidak melengkapi undang-undang dengan sesuatu yang baru, hakim tidak menerapkan sesuatu diluar undang-undang yang telah ada dan tidak menciptkan aturan baru.

Sependapat bahwa analogi tidak identik dengan interprestasi ekstensif

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H belum dapat memahami dan menerima pandangan seperti itu. Bagaimana pun interprestasi tetap interprestasi yang masih berpegang pada bunyi teks undang-undang, sedang analogi adalah jenis konstruksi yang tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang. Salah satu contoh interprestasi ekstensif di dalam hukum pidana adalah putusan Hoge Raad Tahun 1921, di mana ditentukan bahwa pengertian goed benda) dalam Pasal 362 KUHP (perbuatan pidana pencurian asal) juga meliputi listrik. Penafsiran “benda” diperluas sehingga mencakup pula “benda yang tidak kelihatan” seperti listrik. Jadi, interprestasi ekstensif masih berpegang pada teks undang-undang, yaitu “benda” dalam Pasal 2 KUHP. Berbeda dengan analogi “seperti dengan membandingkan jual beli dan hibah, keduanya jelas perbuatan hukum yang berbeda, dan hanya unsur essiansalnya saja yang sama, yaitu unsur peralihan hak.” Jadi, meskipun antara analogi dan interprestasi mirip, tetapi tetap ada perbedaan meskipun mungkin hanya perbedaan gradisi saja.

Prof. Dr. Mr. L.J. van Apeldoorn bahwa undang-undang tak sempurna jelasnya; maka hakim harus mentafsirkannya, artinya mencari arti dan maksudnya. Adakalanya juga, bahwa undang-undang tak memuat peraturan yang langsung mengenai hal yang akan ditentukan; walaupun demikian hakim selalu mencari keputusan dari undang-undang dengan uraian logis, yakni dengan melakukan undang-undang secara analogi yakni, sesuatu peraturan yang dilakukan oleh undang-undang peritiwa a, dilakukan oleh hakim untuk peristiwa b, karena peristiwa b itu amaloog dengan peristiwa a. Acara logika yang dilakukan oleh hakim ialah sebagai berikut. Peraturan-peraturan undang-undang dibuatnya menjadi peraturan yang sifatnya umum, dan dari peraturan umum tersebut ditarik peraturan untuk menentukan peristiwa yang khusus. Misalnya Pasal 1514 BW menentukan Si penjual tidak diwajibkan untuk menyerahkan barang, jika si pembeli tidak membayar harga pembeli dan si penjual tak mengizinkan pembayaran kemudian”. Dengan cara tersebut orang menyangka, bahwa untuk tiap-tiap hal yang khusus hakim akan dapat menemukan keputusan di dalam undang-undang, juga dalam hal undang-undang tidak dengan tegas memberikannya. Dengan mudah hakim dapat berlindung pada pernyataan kehendak pembentuk undang-undang secara diam-diam. Dengan demikian orang dapat mempertahankan bahwa pada hakekatnya perundang-undang tak mempunyai kekosongan, melainkan merupakan kesatuan yang tertutup logis, suatu sistim hukum yang lengkap dari mana hakim harus mencari peraturan hukum yang sesuai untuk tiap-tiap hal yang khusus. Dengan demikian maka undang-undang sebenarnya akan bekerja sebagai otomat : jika sekali hakim telah menetapkan, dalam ruangan mana tergolong khusus yang akan diputuskannya, maka dengan sendirinya undang-undang memberikan akibat hukum yang bersangkutan dengan peristiwa itu. Hakim tidak menicpta hukum, ia tidak membuat sesuatu yang baru, ia hanya menemukan hukum, membuka tabira pikiran-pikiran yang terletak dalam undang-undang.ia mempelajari undang-undang, mengadakan analisa, untuk menemukan jalan untuk hal-hal yang tegas dengan jalan deduksi yang logis.

Bismar Siregar dalam kasus “perayu gombal” tersebut adalah keberanian bismar dalam menafsirkan “unsur barang” sbeagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP, diungkapkan dalam putusannya ternyata tidak semata-mata didasarkan pada analogi yang tudak masuk akal. Kata “benda” dalam masyarakat tapanuli berarti benda yang berarti barang dimana termasuk didalamnya adalah ‘kegadisan seorang.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer