PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA


Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan dengan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank islam di Indonesia.
Upaya terus menerus yang dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya undang0undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Seperti diketahui, prinsip syariah[1] yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan ideologis saja, melinkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hbungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.
Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah antara bank dengan  nasabah. Kemungkinan kemungkinan sengketa biasanya berupa complain karena ketidaksesuain antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft akad, serta complain terhadap lambatnya proses kerja.
Adanya permasalahan permasalahan tadi sebenarnya bisa diatasi melalui penyelesaian internal bank itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang biasanya ditempuh oleh para pihak ketika terjadi sengketa adalah sebagai berikut :
a.       Mengembalikan kepada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya, yang mana dalam sebuah akad biasanya memuat klausula penyelesaian sengketa yang terdiri atas pilihan hukum dan pilihan forum/lembaga penyelesaian sengketa.
b.      Para pihak yakni bank dan nasabah kembali duduk bersama untuk mendudukan persoalan dengan focus terhadap masalah yang dipersengkatan.
c.       Mengedapankan musyawarah dan kekeluargaan
d.      Pengadilan hendaknya dijadikan solusi terakhir jika memang diperlukan
Dalam kontrak yang dibuat antara pihak bank dengan nasabah terkait dengan penyelesaian sengketa ini, hal pertama yang disebut adalah keinginan bersama untuk melakukan musyawarah untuk mufakat apabila dikemudian hari terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrakyang telah disepakati bersama. Baru kemudian jika jalan musyawarah mengalami kegagalan ada jalur lain yang diperjanjikan baik itu melalui lembaga mediasi, lembaga arbitrase, atau menunjuk lembaga pengadilan.
Pada prisipnya mengenai cara untuk menyelesaikan sengketa diserahkan sepenuhnya kepada para pihak atau dengan kata lain menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang telah dituangkan dalam ketentuan pasal 1338 Jo. Pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan demikian para pihak hendaknya secara tegas mencantumkan dalam perjanjian yang dibuatnya mengenai penyelesaiansengketa ini. Akan lebih baik jika dalam hal penyelesaian sengketa ini secara berurutan ditentukan paling tidak empat alternative yaitu secara musyawarah mufakat dan apabila telah mengalami kegagalan maka dapat ditempuh melalui upaya mediasi perbankan, arbitrase atau melalui lembaga peradilan.

Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai alternative penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah mengalami perkembangan yang signifikan baik dari segi peraturan hukum  maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 1999 tentang peradilan Agama. Poin inti dari amandemen undang – undang peradilan agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan agama berupa kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.
Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan menjadi pedoman bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang timbul menegaskan akan lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai (tasaluh). Untuk itu para pihak yang ada sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
The last resort dari suatu penyelesaian sengketa adalah melalui lembaga peradilan. Selama ini muncul pertanyaan apakah pengadilan negeri atau pengadilan agama berkompeten dalam penyelesaian sengketa di bidang muamalah islam. Dalam undang undang nomor 8 tahun 2004 tentang pengadilan umum hanya disebutkan bahwa pengadilan negeri berwenangmenyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama, sedangkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan Agama secara limitatif hanya berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam, serta wakaf dan shadaqoh[2].
Dengan demikian kedua lingkungan peradilan tersebut tidak secara tegas memiliki kewenangan dalam memutus sengketa dibidang ekonomi syariah. Keraguan yang muncul tersebut akhirnya berakhir setelah diundangkannya undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Salah satu poin penting yang ada dalam amandemen undang undang dimaksud berupa perluasan kewenangan pengadilan agama.
Peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sekarang berdasarkan Pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah. Berdasarkan penjelsasan pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah, d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f. sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pension lembaga keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.
Penerapan prinsip syariah dalam dalam penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit ketika harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah[3], tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan sayariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya[4].
Dengan masuknya sengketa bidang perbankan syariah dalam kewenangan absolute lingkungan peradilan agama didasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan  terjadinya titik singgung atau persentuhan kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam penegakan hukum. Oleh karena itu maka, penulis mengangkat tulisan dengan judul “PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA”.
Dalam tulisan ini yang menjadi rumusan permasalahan adalah mengenai hukum acara dan prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama dan prosedur formal penyelesaian sengketa tersebut di pengadilan agama.
A.    Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
1.      Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan[5], berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut[6].
2.      Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat[7].
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.
B.     Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.
Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran[8], namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.
Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah[9]. Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya
Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
1.      Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

2.      Sumber-sumber HUkum Materiil dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut[10]. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan[11]. Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :


a.       Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata.
b.      Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
1.      UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2.      UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
3.      UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
4.      UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
5.      PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
6.      PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
7.      SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
8.      SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
9.      Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.  
c.       Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
1.      Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo)
2.      Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan
3.      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar[12]
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
d.      Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih lebih terhadap pihak lain[13].  Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
e.       Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
f.       Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.


DAFTAR PUSTAKA
Anshori  Abdul Gofur, 2009,  Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
Antonio Muhammad Syafii, 2005, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta
HS Salim, 2006, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah. Politea Press, Yogyakarta
Maksun, 2000, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum
Mertokusumo Sudikno, 1999a, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Mertokusumo Sudikno , 1999b, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Perwataatmadja Karnaen, 2005, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta
Taufik, 2007, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta





[1] Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (13) UU No. 10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan prinsip syariah dalam hal ini adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanana dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnay yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (12)  UU No. 21 Tahun 2008 prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasrkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
[2] Abdul Gofur Anshori, 2009,  Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Halaman 214
[3] Karnaen Perwataatmadja, 2005, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, Halaman 295
[4] Muhammad Syafii Antonio, 2005, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, Halaman 214
[5] Biasanya dalam perjanjian atau akad tersebut klausulanya lebih kurang berbunyi “segala sengketa yang timbul berkaitan dengan perjanjian ini akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah NAsional (BASYARNAS)”
[6] Hal ini sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal hal tertentu yang telah ditetapkan dalam undang – undang.
[7] Salim HS, 2006, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 7.
[8] Dalam fatwa ini antara lain dinyatakan bahwa dibolehkan menjatuhkan sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap nasabah mampu  yang menunda-nunda pembayaran, besarnya uang denda tersebut ditentukan atas dasar kesepakatan yang dibuat saat akad ditandatangani. Sanksi tersebut didasarkan prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
[9] Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah. Politea Press, Yogyakarta, Halaman 6
[10] Sudikno Mertokusumo, 1999a, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Halaman 167
[11] Taufik, 2007, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta, Halaman 95
[12] Sudikno Mertokusumo , 1999b, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Halaman 99
[13] Maksun, 2000, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum, halaman 4

Komentar

Postingan Populer