PAJAK PUSAT

Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu: Pajak Negara dan Pajak Daerah. 

Pajak Negara

Sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:

• Pajak Penghasilan
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008

• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009

• Pajak Bumi dan Bangunan
Diatur dalam UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 1994

• Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000

• Bea Materai
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

A. PAJAK PENGHASILAN

Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.

1. Sejarah Pajak Penghasilan

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. 

Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan.

Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform,terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

2. Pajak Penghasilan di Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi.

Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah. Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya.

Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.

Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".

Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja.

Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

3. Subyek pajak penghasilan

Menurut Undang Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
   1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
   2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
   3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
   4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
   5. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

4. Bukan subyek pajak penghasilan

Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
5. Obyek Pajak Penghasilan

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

6. Kronologi Perubahan Undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.

B. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

1. Karakteristik

• Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
• Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
• Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
• Menghindari pengenaan pajak berganda.
• Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

2. Perkecualian

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:
a. Barang tidak kena PPN
• Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1. Minyak mentah.
2. Gas bumi.
3. Panas bumi.
4. Pasir dan kerikil.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
• Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
• Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
2. Gilingan.
3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4. Beras pecah.
5. Menir (groats) beras.
• Segala jenisng putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
• Sagu, dalam bentuk:
1. Empulur sagu.
2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
• Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
• Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1. Garam meja.
2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
• Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
• Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
b. Jasa tidak kena PPN
• Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
2. Jasa dokter hewan.
3. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5. Jasa paramedis dan perawat.
6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
• Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
• Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).
• Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
• Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
• Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
• Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
• Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
• Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
• Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
1. Jasa tenaga kerja.
2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
• Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
• Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

C. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)

PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap :
1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor. 

1. Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM 

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;

2. Pengertian BKP Mewah 

a. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

3. Pengertian Menghasilkan 

PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ;
a. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
b. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak;
c. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya;
e. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

4. Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah 

Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :
a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
c. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
d. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang tergolong mewah ini adalah PP Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor 60Tahun 2001, PP Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP Nomor 12 Tahun 2006.
Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang yang dikenakan PPnBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 570/KMK.04/2000, 381/KMK.03/2001, 141/KMK.03/2002, 39/KMK.03/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004.

D. Pajak bumi dan bangunan (PBB)

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.

Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP . Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.

Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui bank persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga melalui kantor pos.

E. Bea Materai

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985

Objek Bea Meterai adalah dokumen, yaitu kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;
d. surat yang yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) :
• yang menyebutkan penerimaan uang;
• yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
• yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
• yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);
f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Terhadap dokumen pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).

Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:
a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;
Terhadap dokumen pada huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500, – (lima ratus rupiah) dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.100.000, – (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya
batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen tersebut. Hal ini berarti maksimum tarif adalah Rp 6.000 (enam ribu rupiah).

Doukumen yang dikecualikan dari pengenaan Bea Meterai adalah:
a. dokumen yang berupa:
1) surat penyimpanan barang;
2) konosemen;
3) surat angkutan penumpang dan barang;
4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).

b. segala bentuk Ijazah;
c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank;
f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

PP No. 13 Tahun 1989 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989 Tanggal 22 September 1989 Tentang Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai atas Cek dan Bilyet Giro diatur bahwa tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro ditetapkan sebesar Rp.500,- (lima ratus rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

PP No. 7 Tahun 1995

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 Tanggal 21 April 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai diatur bahwa dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 adalah dokumen yang berbentuk :
a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) :
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000,- (satu juta rupiah);
f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
g. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan :
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.
Dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf d, huruf e dan huruf f yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 1.000,- (seribu rupiah),dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tidak terutang Bea Meterai.
Tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro ditetapkan sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah), tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

PP 24 Tahun 2000

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 Tanggal 20 April 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai diatur bahwa dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk:
a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d. surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.
Dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e:
a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000, 00 (enam ribu rupiah).
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer