KEJAHATAN DI BIDANG PERPAJAKAN

1. Pengertian Umum

Kejahatan di bidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan ketika memenuhi kaidah rumusan hukum pajak (Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, 2011 : 2).

Selanjutnya pula dijelaskan bahwa, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sebagai bentuk kejahatan dibidang perpajakan memerlukan uraian analisis yang mendasar sehingga mudah dipahami secara prinsipil.Pertama, melakukan perbuatan tetapi bertentangan dengan kaidah hukum pajak sehingga di kategorikan sebagai kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya, wajib pajak melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat pemberitahuan tetapi substansinya tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas, atau tidak ditanda tangani. Kedua, tidak melakukan perbuatan tetapi memenuhi rumusan kaidah hukum pajak sehingga di kategorikan sebagai melakukan kejahatan dibidang perpajakan. Misalnya, wajib pajak tidak membayar pajak untuk suatu saat atau masa pajak bagi tiap-tiap jenis pajak, paling lama lima belas hari sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak tersebut.

Menurut Muladi dalam Blognya (a55i.wordpress.com) , kejahatan ekonomi (pajak) ini merupakan ciri yang menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, bangsa-bangsa di dunia, baik dalam masyarakat yang sudah maju/modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah modernisasi karena kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui batas-batas teritorial. Kejahatan pajak yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara yang sehat serta menimbulkan kerugian (bagi negara dan masyarakat) dalam skala yang sangat besar sebagai contoh konkrit adalah kejahatan pajak yang dilakukan oleh pegawai kantor konsultan pajak pegawai pajak Gayus tambunan yang sedang menjadi pembicaraan saat ini.

Di negeri kita juga sudah menjadi rahasia umum, para pegawai pajak dicemburi publik dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka seperti mendapat ”cap” tega mengembat uang pajak.Bahkan, para wajib pajak yang harus membayar pajak dalam jumlah besar sering menjadi sasaran para oknum pegawai pajak (baca penjahat pajak).Akibatnya, para wajib pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Misalnya, kewajiban pajak yang berjumlah sangat besar bisa diatur sedemikain rupa sehingga jumlahnya menjadi kecil.Wajib pajak pun selamat dari tuduhan menggelapkan pajak.Namun, negara dirugikan.Mengingat, jumlah pajak yang masuk ke khas negara berkurang.Sedangkan rekening oknum pegawai pajak bertambah. Maklum, dia sudah mendapat gaji dari pemerintah dan juga mendapat ”gaji tidak resmi” dari para wajib pajak yang berhasil dirayu untuk berkolusi mengemplang pajak. Dalam konteks itu, wajib pajak juga sudah melakukan kejahatan pajak.Umumnya, oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak sendirian. Dia bersekongkol dengan berbagai pihak, termasuk polisi atau jaksa, seperti tampak dari cara kerja Gayus. Kejahatan pajak memang sering berantai dengan melibatkan banyak orang dan berlangsung sangat rapi.Tepat bila ada yang mengatakan bahwa di negeri kita juga ada mafia pajak.

Yang penting diperhatikan, para oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak langsung mengambil uang dari pajak yang dibayarkan para wajib pajak.Jangan lupa, uang pembayaran pajak langsung disetor lewat bank atau kantor pos. Lewat tanda bukti pembayaran berupa surat setoran pajak (SSP) dilampirkan dalam SPT, surat pemberitahuan untuk dilaporkan di kantor pajak.

Jadi, petugas pajak hanya administrator. Kejahatan pajak terjadi ketika ada manipulasi pembayaran pajak dengan SSP palsu maupun dengan pelaporan SPT yang tidak benar.Kejahatan bisa terjadi karena ada persekongkolan antara wajib pajak (seperti pengusaha) dan pegawai pajak.Dalam hal itu, peran masyarakat untuk melakukan pengawasan sangat diperlukan.

2. Kejahatan Dalam Bidang Pajak Secara Umum.

Menurut Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar (2011 : 37)membagi kejahatan pajak menjadi tiga (3) bagian, yaitu :
a. Kejahatan Yang dilakukan oleh wajib pajak, yaitu :
- Tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya
- Tidak menyampaikan surat pemberitahuan
- Pemalsuan surat pemberitahuan
- Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak
- Menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
- Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak
- Menggunakan tanpa hak pengukuhan pengusahan kena pajak
- Menolak untuk diperiksa
- Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
- Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain.
- Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pmbukuan atau pencatatan
- Tidak menyetor pajak yang telah di potong atau pungut
- Menerbitkan dan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan atau bukti setoran pajak
- Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
- Tidak memberikan keterangan atau bukti
- Menghalangi atau mempersulit penyidikan
- Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi
- Tidak terpenuhi kewajiban pajabat dan pihak lain
- Tidak memberikan data atau informasi perpajakan
- Menyalahgunakan data atau informasi perpajakan

b. Kejahatan yang dilakukan oleh pejabat pajak, yaitu :
- Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan wajib pajak
- Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak

c. Kejahatan yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu :
- Menyuruh melakukan (Doenplegen)
- Turut melakukan (Medeplegen)
- Menganjurkan melakukan (Uitlokking)
- Membantu melakukan (Medeplichtigheid)

3. Kejahatan Struktural Perpajakan

Ketika tersingkapnya restitusi fiktif perpajakan sebesar Rp607 miliar justru semakin mempertegas kesimpulan publik berkenaan dengan kejahatan perpajakan di Indonesia sebagai kejahatan yang bersifat struktural.Restitusi fiktif perpajakan itu didasarkan pada modus penggunaan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) fiktif.

Pertanyaan yang kemudian muncul mengiringi kenyataan ini berkaitan erat dengan kejahatan struktural itu sendiri.Bagaimana sesungguhnya kejahatan struktural ini dimengerti hakikatnya? Mengapa kejahatan struktural ini terjadi? Bagaimana negara dimengerti eksistensinya dengan mengambil titik tolak dari terjadinya kejahatan struktural itu? Tidak pelak lagi, kejahatan struktural perpajakan ini merupakan fakta berkenaan dengan eksistensi negara yang telah kehilangan marwah. Sebagai kejahatan yang bersifat struktural maka, (1) restitusi fiktif perpajakan mustahil terjadi tanpa keterlibatan aktor-aktor pengelola negara, (2) kejahatan ini merupakan tindakan yang bercorak by designed.

Negara dalam konteks ini telah sedemikian rupa diposisikan sebagai obyek yang dihancur-leburkan oleh kejahatan struktural itu.Karena kenyataan ini pula, negara merupakan pihak yang dirugikan secara finansial.Langsung maupun tidak langsung, inilah kejahatan yang mereduksi secara telak pembiayaan program peningkatan kesejahteraan rakyat.Tentu saja, kejahatan struktural semacam ini tidak terjadi secara serta-merta.Ada sebab fundamental yang melatarbelakangi timbulnya kejahatan struktural perpajakan.Sebab fundamental itu adalah punahnya spirit "memajukan kesejahteraan umum".Padahal, spirit tersebut termaktub secara terang-bcnderang ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 194S.Implikasi serius dari punahnya spirit ini tampak mencolok pada evolusi tergerusnya negara dari waktu ke waktu.

Semakin jauh aktor-aktor pengelola negara terlibat ke dalam kejahatan struktural perpajakan, semakin serius proses evolusi terqerusnya negara. Sulit kemudian mengingkari kesimpulan, bahwa hingga abad XXI kini Indonesia belum memasuki fase baru pengelolaan negara.Status qou feodalistik masih begitu kuat mendistorsi pengelolaan negara, sehingga pajak terus-menerus difungsikan sebagai upeti.Aksesori-aksesori modernitas yang melekat ke dalam format organisasi pengelolaan negara tidak disertai oleh upaya mengejawantahnya the ideas of progress. Modernitas hanya mewujud dalam kulit, tetapi tidak menelusup masuk ke dalamsukma pengelolaan negara.Tidak bisa tidak, tendensi feodalistik terus bergemuruh melalui pesta memperebutkan sumber-sumber daya dalam negara.Apa boleh buat, negara dimengerti sebagai "gudang harta karun" yang boleh dijarah kapan saja, oleh siapa saja dan dengan metode apa saja.

Mungkinkah kejahatan struktural semacam ini dapat diselesaikan sekarang dan untuk selamanya?Ataukah, kejahatan struktural semacam ini merupakan kutukan abadi terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa?Jawaban terhadap pertanyaan ini kembali pada aktor-aktor pengelola negara.Selama formasi personel pengelolaan negara disesaki oleh figur-figur yang kosong dari perspektif Pembukaan UUD 1945, maka selama itu pula negara terus-menerus disudutkan sebagai obyek kejahatan struktural.

Penting direnungkan secara saksama sejak kini bahwa keterlibatan pihak-pihak lain di luar aktor pengelola negara hanyalah pelengkap yang menyempurnakan kejahatan struktural perpajakan.Para aktor pengelola negaralah sesungguhnya yang berdiri di garda terdepan kejahatan struktural.Karena itu pula, purifikasi aktor-aktor pengelola negara merupakan opsi paling rasional mengakhiri drama kejahatan struktural itu.
Kita kini tidak bisa mengelak dari persoalan punahnya imaji ke-Indonesia-an di kalangan aktor pengelola negara.Itulah mengapa, eksistensi para aktor pengelola negara kesulitan memahami segenap imperatif yang termaktub ke dalam Pembukaan UUD 1945.Reedukasi terhadap mereka pun bukan jawaban demi menciptakan pemahaman secara utuh terhadap totalitas substansi Pembukaan UUD 1945.

Upaya strategis yang mutlak dilakukan adalah retooling atau mengganti secara total aktor-aktor pengelola negara.Pada titik ini, proses rekrutmen dilakukan untuk menghasilkan aktor-aktor pengelola negara yang mumpuni menerjemahkan imperatif Pembukaan UUD 1945.Manakala solusi ini ditampik, maka hanya persoalan waktu jika kejahatan struktural yang terus-menerus menggerus sumber-sumber daya finansial dalam negara tersingkapkan ke permukaan.

4. Penghindaran, Penyelundupan dan Pengelakan pajak

a. Penghindaran Pajak

Penghindar pajak disebut juga Tax Planning,yaitu proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekwensi pengenaan pajak yg tidak dikehendaki.Sedangkan penghemat pajak yaitu usaha mempekecil jumlah hutang pajak,secara umum dapat juga dikatakan bahwa cara mengecilkan beban pajak melalui penyelundupan pajak yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.

Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar.Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.

Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

- Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
  • Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau
  • Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
- Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya rendah. Contoh:
Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur.Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak.Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.

- Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang.Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:
1. Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka mengubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum.
2. Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop menghindari pengenaan pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan.
3. Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkuarang.
Celah undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak jelas karena:

1. Kesengajaan pembuat undang-undang

Hal ini terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya.Dua kepentingan yang paling dominan di parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok buruh dan pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua p;ihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan yang berbeda.Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumuasn yang bisa diterima oleh semua pihak.Masing-masing pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak.Pada akhirnya, undang-undang tersebut mengambang.Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan negara.

2. Ketidaksengajaan pembuat undang-undang

Contoh: Pada akhir tahun 1800an, undang-undang anti-trust atau undang-undang anti monopoli di Amerika Serikat yang ditujukan untuk pemilik modal yang berbunyi “ Apabila ada yang menghambat atau menghalangi perdagangan antar negara bgaian, bisa dijatuhi hukuman berdasarkan undang-undang ini”.
Pada suatu kasus, serikat buruh pada perusahaan transportasi melakukan pemogokan sehingga perdagangan antar negara bagian terhambat.Pemimpin serikat buruh ini ditangkap dan dihukum berdasarkan undang-undang anti monopoli karena dianggap menghambat perdagangan antar negara bagian.Seharusnya undang-undang ini ditujukan untuk pemilik modal, bukan untuk kaum buruh.Karena itu, pada pemilu berikutnya kaum buruh memilih wakil-wakil mereka yang memang dalam hidupnya membela kepentingan kaum buruh.Setelah pemilu, mereka berhasil mendominasi kursi di parlemen.Sehingga, mereka menambahkan undang-undang anti trust tersebut dengan kalimat “undang-undang ini tidak ditujukan untuk kaum buruh”.

b. Penyelundupan Pajak

Beberapa pengertian penyelundupan pajak yaitu :
- Harry Graham Balter

Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak-apakah berhasil atau tidak-untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap Perundang-undangan perpajakan, sedangkan penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

- Ernest R. Mortenson

Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak, sedang Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya.Oleh karena itu, penghindaran pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha waiib paiak untuk mengurangi, menghindari, meminimkan atau meringankan beban pajak dengan cara-cara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak.

- N. A. Bar, S. R James, A.R Prest

Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang, sedang Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

- Robert H. Andercon

Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang- undang pajak, sedang Penghindaran pajakadalah cara rnengurangi paiak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan Pajak.

Selanjutnya dikemukakanbahwa suatu hal yang wajar apabila seorang wajib pajak membayar pajaknya tidak melebihi apa yang menjadi kewajibannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan mengingat asumsi yang dibuat pada waktu merencanakan undang-undang pajak tersebut bahwa wajib pajak akan melaporkan semua penghasilannya dengan benar dan mengklaim semua potongan-potongan yang diperkenankan oleh undang-undang pajak, sehingga secara moral pun tidak dianggap salah, apabila pengurangan beban pajak melalui penghindaran pajak tersebut masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

c. Pengelakan Pajak (Tax Evasion)

Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).

Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah disuap).
Pengelakan Pajak dapat di lakukan oleh :

- Wajib Pajak Besar

Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak (Tax Avoidance). Karena:
  •  Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang mampu mencari celah dalam undang-undang pajak.
  • Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran juga besar.
  • Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil, performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan kehilangan relasi yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pengurangan tarif pajak.
- Wajib Pajak Kecil

Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:
  • Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
  • Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
  • Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.
Akibat-Akibat Pengelakan Pajak :

- Dalam bidang keuangan

Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dll.

- Dalam bidang ekonomi

Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara para pengusaha. Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur.Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur.

Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan pajak, mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak.

Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan penghasilannya agar tidak diketahui fiscus.Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil penggelapan pajak tersebut ke pasar modal.

- Dalam bidang psikologi

Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar undang-undang tidak diketahui oleh fiscus, maka dia akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang lainnya.

5. Reformasi perpajakan

Salah satu penyebab utama terjadi korupsi di dunia perpajakan kendatipun sudah dilakukan self-assessment (menghitung pajak sendiri) adalah masih dimungkinkannya ”kontak” atau pertemuan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak, padahal sistem tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ”pertemuan” antara wajib pajak dan fiskus. Semula, pemeriksa pajak hanya dapat berhubungan dengan wajib pajak bila ada kesalahan, tetapi sekarang tanpa kesalahan pun fiskus bisa bertemu wajib pajak.

Selain itu, ada beberapa hal lain, yaitu berupa keleluasaan yang luar biasa dari pemeriksa pajak untuk menggunakan otoritasnya dalam memeriksa wajib pajak dan kemudian menetapkan setoran wajib pajak, pada titik tertentu pemeriksa juga dapat menempatkan wajib pajak dengan tuduhan melakukan pidana perpajakan. Kemudian, tidak adanya mekanisme keberatan yang obyektif sehingga sebagian besar keberatan wajib pajak sudah dapat dipastikan ditolak oleh Dirjen Pajak melalui Kepala Kantor Pajak sehingga pada akhirnya wajib pajak mengajukan banding dan tidak adanya mekanisme yang dapat mengontrol penggunaan wewenang dari pemeriksa pajak yang potensial disalahgunakan.

Untuk dapat lebih menjamin agar penerimaan negara dapat lebih optimal dilakukan oleh lembaga perpajakan, diperlukan serangkaian upaya dan program secara sistematis, antara lain sudah saatnya reformasi perpajakan diarahkan pada sistem dan hukum perpajakan, bukan sekadar meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak dengan hanya memperbaiki tempat, cara, dan sistem pembuatan SPT serta mendorong kuantifikasi wajib pajak dan pembayaran pajak.

Selain itu, menata ulang mekanisme agar tidak ada keleluasaan dari wajib pajak bertemu fiskus secara langsung serta membangun mekanisme yang dapat mengontrol kewenangan pemeriksa dan penelaah pajak agar amanah dalam menjalankan kewenangannya.Kemudian, Lembaga Keberatan Pajak dibuat secara lebih independen dan berada langsung di bawah Dirjen Pajak sehingga dapat mengontrol fiskus dan memeriksa secara obyektif keberatan wajib pajak.

Semua pegawai pajak diwajibkan membuat LHKPN plus. Maksudnya, harus menjelaskan asal-usul kekayaannya secara transparan, membuktikan peningkatan kekayaan di luar penghasilannya. Bila tidak, ia dapat dituduh melakukan tindak pidana serta memberikan kuasa pada negara untuk merampas setiap aset dan harta kekayaan seketika bila ditemukan aset dan kekayaan lainnya yang tidak disebutkan di dalam LHKPN. Ini dilakukan karena remunerasi pegawai pajak sudah sangat tinggi bila dibandingkan dengan pegawai negeri lainnya.

Akhirnya, tiga hal lainnya juga perlu dilakukan, yaitu
- Pertama, Lembaga Pajak tidak dapat punya kewenangan yang sangat luas sebagai regulator, eksekutor, dan kontrol sekaligus di bidang perpajakan.
- Kedua, BPK harus diberi akses yang optimal untuk memeriksa kinerja fiskus dengan tetap menjaga ”rahasia” wajib pajak yang tidak melakukan kejahatan serta kebijakan perpajakan harus dikembalikan kepada parlemen dan Menteri Keuangan untuk menentukan kebijakan fiskal.
- Ketiga, perlunya dilakukan harmonisasi berbagai peraturan pajak yang dibuat Dirjen Pajak dan Menkeu agar sejalan dengan UU Pajak dengan memerhatikan kepentingan wajib pajak.


DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Brotodihardjo Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama Ilyas B. Wirawan, dkk, 2007, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat.

Muhammad Djafar Saidi, 2009; Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Cetakan Kedua, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

, , 2010; Pembaharua Hukum Pajak, Edisi Revisi, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, 2011; Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Cetakan Pertama, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

2. UNDANG-UNDANG

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undangundang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang.

3. WEBSITE

Blog.beswandjaru.com/sigitandi
Forumpajak.net
Pajak.go.id
Pajakpribadi.com
Wikipedia.com

Komentar

Postingan Populer