Sejarah HMI : Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia


Oleh : Arip Musthopa
KETUA UMUM PB HMI 2008 - 2010


Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk, menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.

HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[1]

Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.[2] Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).[3] Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban[4] sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200[5] untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara.

Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).

Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.[6] Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.

Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M.[7] Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit[8] di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.[9]

Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.[10]

Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.[11]
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:
Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.[12]
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.

Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.[13]

Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.[14]

Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai ?

Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa.
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan. [15]
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).

Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.

HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.[17]
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan.[18] Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@

[1] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.
[2] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 cet II, penerjemah Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal 28.
[3] Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan mereka dapat dibaca dalam Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
[4] Karena telah mapan, maka tanda-tanda kemundurannya sudah mulai nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk melalui daerah pantai yang merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam di Jawa baru berkembang setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri 1294 M), hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka ketika itu merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang dikuasai Islam. Dengan demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang di bumi nusantara justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi peradabannya di dunia global.
[5] Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981, Ricklefs menulis, ”Dalam pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah menjadi unit sejarah yang padu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu diketahui bahwa versi awal buku ini memang mencantumkan periode sejarah Indonesia modern dimulai tahun ±1300, sebelum kemudian direvisi pada edisi ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Di bagian I buku tersebut, Ricklefs memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.
[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
[7] Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki momentum yang cukup untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.
[8] Dinamika internal yang dimaksud adalah konflik kekuasaan (suksesi kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus bersekutu dengan VOC untuk memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah persaingan antara Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya pernah bersekutu dengan VOC untuk menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini konflik internal bersifat kontraproduktif.
[9] Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah berhadapan dengan Portugis dan Inggris –penulis) yang muncul dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa hanya berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk melawan, melawan, dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap fight for (pro aktif, membangun –penulis). Tentu, ada beberapa pengecualian. Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat menciptakan peradaban yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.
[10] Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).
[11] George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in Indonesia), Penerjemah Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press, Solo, 1995, hal 59.
[12] Ibid, Hal 58
[13] Peran agama Islam dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya mengejawantah ke dalam pergerakan kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Ibid, hal 64.
[14] Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan, Bandung, 2005.
[15] Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun 1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.
[16] Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas siapa yang pertama kali melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan gelombang ini dalam tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru HMI: Epistemic Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006; dan dalam teks Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5 Februari 2007.
[17] Perspektif gelombang sejarah HMI dan penggunaan metode arkeologi pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat di Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007. Pendekatan arkeologi pengetahuan juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres XXV HMI Februari 2006 di Makassar.
[18] Pandangan ini harus dipertahankan disamping karena faktor kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena kita harus waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam di Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan penginjil Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.

Komentar

Postingan Populer